Senin, 24 Mei 2010

Mengenal Inohong / Tokoh Nasional dari Tatar Sunda: Ir. H. DJUANDA KARTAWIDJAYA


Djoeanda Kartawidjaja
Djoeanda  Kartawidjaja
Perdana Mentri Indonesia ke-10

Ir. R. Djoeanda Kartawidjaja (ejaan baru: Juanda Kartawijaya) (lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911 – meninggal di Jakarta, 7 November 1963 pada umur 52 tahun) adalah Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir. Ia menjabat dari 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959. Setelah itu ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I.

Sumbangannya yang terbesar dalam masa jabatannya adalah Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang menyatakan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dikenal dengan sebutan sebagai negara kepulauan dalam konvensi hukum laut w:United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) [1].

Selain itu namanya juga diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur yaitu Bandara Djuanda karena jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang tersebut sehingga dapat terlaksana.

Beliau dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. (WIKIPEDIA)

SOSOK Ir. H. DJUANDA KARTAWIJAYA:
PERDANA MENTERI DAN PEJUANG LAUT YANG TANGGUH
(Peringatan Deklarasi Djuanda, 13 Desember 2007)

Nggak banyak generasi masa kini yang mengenal sosok Ir. H. Djuanda
Kartawidjaja, meski namanya sudah sangat banyak diabadikan ke dalam nama jalan,
nama bendungan, nama stasiun kereta api (di Jakarta) dan bahkan nama bandar
udara di kota Surabaya. Banyak tokoh-tokoh yang hidup semasanya juga berpikir
yang sama bahwa dalam dua puluh tahun terakhir ini namanya tidak menjadi buah
bibir generasi muda, padahal Ir. H. Djuanda Kartawidjaja telah ditetapkan
sebagai Pahlawan Nasiona RI. Walah, jangan-jangan banyak para elit Republik ini
mengalami sindrom yang sama, yaitu sama sekali tidak mengenalnya. Ironis...

Tentunya hal ini menjadi kepedulian kita bersama. Perlu diketahui, bahwa sejak
masa awal kemerdekaan (1946) sampai meninggalnya 6 Nopember 1963 dalam usia 52
tahun, Ir. H. Djuanda K. selalu mendapat kepercayaan menjadi menteri dalam
berbagai kabinet, bahkan ketika meninggal masih menjabat sebagai Menteri
Pertama antara tahun 1959-1963, dan sebelumnya adalah Perdana Menteri dan
Menteri Pertahanan selama tahun 1957-1959.

Ir. H. Djuanda dilahirkan di Tasikmalaya, 14 januari 1911, merupakan anak
pertama pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat, ayahnya seorang Mantri Guru
pada Hollandsch Inlansdsch School (HIS). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan
di HIS dan kemudian pindah ke sekolah untuk anak orang Eropa Europesche Lagere
School (ELS), tamat tahun 1924. Selanjutnya oleh ayahnya dimasukkan ke sekolah
menengah khusus orang Eropa yaitu Hogere Burger School (HBS) di Bandung, dan
lulus tahun 1929. Pada tahun yang sama dia masuk ke sekolah Tinggi Teknik
(Technische Hooge School) di Bandung, mengambil jurusan teknik sipil dan lulus
tahun 1933. Semasa mudanya Djuanda hanya aktif dalam organisasi non politik
yaitu Paguyuban Pasundan dan anggota Muhamadiyah, dan pernah menjadi pimpinan
sekolah Muhamadiyah. Karir selanjutnya dijalaninya sebagai pegawai Departemen
Pekerjaan Umum propinsi Jawa Barat, Hindia Belanda sejak tahun 1939.

Ir. Djuanda oleh kalangan pers dijuluki ‘menteri marathon’ karena sejak awal
kemerdekaan (1946) sudah menjabat sebagai menteri muda perhubungan sampai
menjadi Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (1957-1959) sampai menjadi
Menteri Pertama pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1963). Sehingga dari tahun
1946 sampai meninggalnya tahun 1963, beliau menjabat sekali sebagai menteri
muda, 14 kali sebagai menteri, dan sekali menjabat Perdana Menteri.

Pada saat diangkat oleh presiden Soekarno sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet
Karya, Ir. Djuanda bukanlah orang partai, sehingga ‘Kabinet Karya’ ini
beranggotakan para menteri yang dipilih berdasarkan keahliannya bukan
berdasarkan asal partainya. Pada saat menjabat sebagai perdana menteri inilah,
Ir. Djuanda harus menghadapi dan menyelesaikan berbagai persoalan bangsa yang
berat dan rumit. Beberpa diantarannya adalah masalah ketegangan hubungan antara
presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta yang mengundurkan diri tahun
1956. Selain itu pergolakan di daerah semakin memanas dengan ketidakpuasan elit
politik dan militer di daerah seperti di Sumatera barat, Sumatera Utara,
Sulawesi Utara. Selain itu pemerintahan Djuanda juga harus mengatasi
pemberontakan Darul Islam (DI/TII) di Jawa barat, Aceh dan Sulawesi Selatan dan
Tenggara, Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon dan Seram, dan juga masalah
provinsi Irian Barat yang masih diduduki oleh Belanda.

Sebagai perdana menteri, Djuanda memprakarsai kegiatan yang berusaha untuk
menormalisasi keadaan dan menegakkan keutuhan Negara Republik Indonesia. Untuk
itulah diadakan Musyawarah Nasional yang mengundang para penguasa sipil dan
militer di daerah, tokoh-tokoh Indonesia yang dianggap mampu memberikan
masukan-masukan yang positif sesuai dengan tujuan Munas. Acara diadakan di
Gedung Proklamasi Jl. Pegangsaan Timur no. 56. Presiden Soekarno dan mantan
Wakil Presiden Moh. Hatta juga bersedia hadir dalam acara tersebut. Kehadiran
tokoh ‘dwi tunggal’ diharapkan dapat mempengaruhi para elit lokal untuk mau
duduk dan bermusyawarah memecahkan berbagai masalah kebangsaan yang tengah
mengancam keutuhan Negara RI. Acara Munas dimulai tanggal 10 September 1957 dan
berlangsung sampai 14 September 1957.

Dalam pembukaan Munas, Ir. Djuanda menekankan pentingnya segala komponen bangsa
untuk memikirkan pemecahan masalah yang membuat Negara RI berjalan tidak
normal. Dengan membawa kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan
golongan atau partai. Sementara itu Bung karno dan Bung Hatta mengingatkan
kembali agar segenap komponen bangsa mengambil teladan dari proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai jiwa yang membawa persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia, mengingat munas ini juga diselenggarakan di gedung Proklamasi
Jl. Pegangsaan No 56.

unas ini secara umum cukup berhasil meredam ketegangan antara pusat dan daerah
untuk sementara waktu. Memburuknya hubungan RI dan Belanda menimbulkan gejolak
di Indonesia, sehingga terjadi kekacauan dalam pengambilalihan asset-asset
milik Belanda dan ditambah lagi terjadinya ‘Peristiwa Cikini’ pada tanggal 30
Nopember 1957 yaitu peledakan granat di sekolah Cikini ketika Soekarno
berkunjung ke sekolah anaknya tersebut, Soekarno selamat tetapi banyak yang
tewas akibat ledakan granat tersebut. Peristiwa ini berkembang dan meningkatkan
suhu politik di dalam negeri, termasuk penangkapan-penangkapan yang dilakukan
oleh aparat keamanan. Keadaan menjadi tidak stabil ketika komandan-komandan
militer dibeberapa daerah meminta agar Kabinet Djuanda dibubarkan atau
mengundurkan diri. Sehingga memasuki 1958 situasi pergolakan mulai memuncak dan
meletus di Sumatera Barat (PRRI) dan Sulawesi Utara (Permesta).

Namun dari semua kesulitan yang dihadapi oleh Kabinet Djuanda dan juga bangsa
Indonesia umumnya. Perdana menteri Djuanda ternyata mampu melakukan terobosan
besar dalam upanya mengintegrasikan seluruh wilayah kepulauan dan laut yang
menjadi wilayah territorial Indonesia dengan mencanangkan Deklarasi Djuanda
pada tanggal 13 Desember 1957, yang berbunyi:

”segala perairan disekililing dan diantara pulau-pulau di Indonesia merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada di bawah kedaulatan
Indonesia”.

Pernyataan ini dibacakan dalam siding Kabinet oleh Perdana menteri Djuanda
sebagai landasan hukum bagi penyusunan Rancangan Undang Undang yang nantinya
dipergunakan untuk menggantikan Territoriale Zee and Maritime Kringen
Ordonantie tahun 1939, terutama pasal 1 ayat 1 yang menyatakan wilayah
territorial Indonesia hanya 3 mill diukur dari garis air rendah setiap palung.
Hal ini mengakibatkan wilayah perairan antara pulau-pulau di Indonesia menjadi
kantung-kantung internasional yang dapat dimanfaatkan oleh pihak luar, dan
waktu itu banyak kapal-kapal perang Belanda yang melintasi laut-laut dalam kita
menuju Irian Barat dengan memanfaatkan hukum territorial laut tahun 1939.

Penyusunan Deklarasi Djuanda yang sangat penting ini tidak terlepas dari peran.
Mochtar Kusumaatmadja yang pada saat itu adalah anggota panitia rancangan
Undang-undang (RUU) Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim. “Ketika RUU sedang
dalam proses penyelesaian dengan menetapkan wilayah laut territorial Indonesia
adalah 12 mil dari garis air rendah. Bulan oktober 1957, menteri Chaerul Saleh
mendatangi saya dan mengatakan bahwa RUU tersebut tidak banyak berguna untuk
menutup Laut Jawa dari pelayaran kapal-kapal asing terutama kapal perang
Belanda. Mochtar kemudian menyusun draft deklarasi atas seizin Letkol Laut
Pirngadi, ketua Panitia RUU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim dan juga
Kepala Staff Operasi Angkatan Laut.” kata Mochtar.

Pada tanggal 13 Desember 1957, panitia RUU Laut Teritorial dan Lingkungan
Maritim dipanggil PM. Djuanda di Pejambon, Jakarta. Letkol Pirngadi dan Mochtar
kusumatmadja kemudian dipersilahkan menjelaskan peta Indonesia yang sudah
menggunakan konsep laut “antara” sebagai wilayah territorial Indonesia bukan
hanya 3 mil atau 12 mil dari garis air rendah. Hasil rapat kabinet kemudian
memutuskan konsep yang menyatakan bahwa; ”segala perairan disekililing dan
diantara pulau-pulau di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
daratan dan berada dibawah kedaulatan Indonesia” diterima sebagai keputusan
rapat. Kemudian keputusan ini diumumkan oleh PM Djuanda, yang kemudian dikenal
dengan Deklarasi Djuanda, yang memiliki arti yang strategis bagi perjuangan
bangsa Indonesia untuk meningkatkan pembangunan dan memantapkan kesatuan
nasionalnya. Dengan demikian wilayah laut kita dihitung 12 mil dari garis-garis
dasar yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia yang
terluar, dengan demikian luas territorial Indonesia berkembang dari dua juta
km2 menjadi lima juta km2.

Meskipun Deklarasi Djuanda belum diakui secara internasional, namun oleh
pemerintah RI, deklarasi ini diundangkan melalui keputusan Undang-Undang/Prp
No. 4/1960, bulan Februari 1960. UU ini kemudian diperkuat dengan Keputusan
presiden no. 103/1963 yang menetapkan seluruh perairan Nusantara Indonesia
sebagai satu lingkungan laut yang berada di bawah pengamanan Angkatan laut RI.
Berbagai peraturan ini juga menimbulkan kecaman dari dunia Internasional, namun
Indonesia tetap bersikukuh bahwa deklarasi Djuanda merupkan solusi yang terbaik
untuk menjaga keutuhan laut Indonesia dan dipergunakan untuk kemamkmuran rakyat
Indonesia.

Dalam konferensi Hukum laut PBB ke-3, Indonesia memprjuangkan konsep kesatuan
kewilayahan Nasional yang meliputi wilayah darat, laut dan udara dan seluruh
kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Konsep ini kemudian diakui dalam
konvensi Hukum laut PBB di Montego Bay (Jamaika) pada tanggal 10 Desember
1982. Indonesia kemudian meratifikasinya dalam UU No. 17/1985 pada tanggal 31
Desember 1985. akhirnya setelah 25 tahun menunggu Deklarasi Djuanda telah
diakui oleh PBB, namun baru diakui secara internasional sejak 16 Nopember 1994,
setelah 60 negara meratifikasinya. Hal ini berarti butuh waktu 37 tahun sejak
Deklarasi Djuanda Kesatuan Kewilayahan Indonesia diakui oleh dunia
Internasional. Saat ini dengan diberlakukannya Zona Ekonomi Eksklusif sejauh
200 mil dari garis dasar perairan maka wilayah yang dapat dikelola ekonominya
termasuk wilayah laut seluas delapan juta km2, enam juta km2 diantaranya adalah
wilayah perairan laut. Sosok diplomat dan ahli hukum laut Indonesia yang
sangat aktif memperjuangan cita-cita deklarasi Djuanda adalah selain prof. Dr,
Mochtar Kusumaatmadja adalah prof. Dr. Hashim Djalal yang dengan aktif
mengikuti berbagai sidang PBB tentang hukum laut, sejak tahun 1970-an sampai
1990-an. Hashim Djalal menyelesaikan gelar Doktor tentang hukum laut pada
Universitas Virginia tahun 1961, karena diilhami oleh Deklarasi Djuanda. Bahkan
dia juga menggagas Rancangan peraturan pemerintah temntang lalu Lintas Laut
Damai Kendaraan Air Asing melalui Perairan Nusantara Indonesia, pada bulan Juli
1962, yang kemudian disetujui oleh kabinet dan dijadikan Peraturan pemerintah
No. 8/1962.

Demikianlah Deklarasi Djuanda yang kita peringati setiap tanggal 13 Desember
ini merupakan momentum yang dapat dijadikan refleksi sudah sejauh mana wilayah
territorial darat dan laut yang sudah diperjuangkan oleh para pendahulu kita
termasuk Prof. Dr. Mochtar kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hashim Djalal dapat kita
ambil semangatnya bagi pembangunan Indonesia yang lebih baik. Kehilangan
Sipadan dan Ligitan, hilangnya pulau-pulau di selat Malaka akibat pengerukan
pasir yang dijual ke Singapura dan masalah-masalah pulau terdepan kita yang
rentan dijarah oleh pihak luar. Sudah selayaknya dalam peringatan Deklarasi
Djuanda para elit sipil dan militer negeri ini selalu mengedepankan kinerjanya
agar jangan sampai wilayah territorial kita berkurang karena ketidakpedulian
kita terhadap territorial laut dan pulau-pulau di perbatasan dengan Negara
lain. Peringtan Deklarasi Djuanda dapat dimaknai sebagai tanggung jawab setiap
generasi untuk menjiwai semangat deklrasi tersebut. Maka, fahami dan dalamilah
segenap ruh dan jiwa dari deklarasi itu, agar kita tidak kehilangan apa yang
seharusnya menjadi hak kita dan generasi setelah kita.

Naskah: Tim Panitia Seminar dan Pameran 50 Tahun Deklarasi Djuanda. Direktorat
Georgrafi Sejarah Departemen Kebudayaan & Pariwisata RI.

Disarikan oleh: Didik Prdjoko, M.Hum (UI) dan Asep Kambali, S.Pd. (UNJ/ Eks
IKIP Jkt)

Sumber:
I.O. Nanulaita, Ir. Haji Juanda Kartawijaya, Depdikbud, IDSN, 1980/1981

Awaloedin Djamin, ed., Pahlawan Nasional Ir. H. Djuanda: Negarawan,
Administrator dan Teknokrat Utama, Jakarta, Kompas, 2001


KPSBI-HISTORIA

Phone: (021) 7044-7220, Mobile: 0818-0807-3636
[EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]
http://kpsbi-historia.blogdrive.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar