Kamis, 20 September 2012

Jenderal Pramuka dan Pendidikan


Jenderal Pramuka dan Pendidikan
Pekerjaan Utama:
Gubernur Jawa Barat (1960-1970)




Letjen TNI (Purn) H Mashudi, mantan Gubernur Jawa Barat (1960-1970) dan mantan Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka (1978-1993), meninggal dunia ) Rabu 22 Juni 2005 pukul 11.10 WIB di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Jenazah tokoh Pramuka kelahiran Garut 11 September 1920, itu dikebumikan Kamis 23 Juni 2005 pukul 10.00 WIB di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung, Jawa Barat.

Sesepuh masyarakat Jawa Barat yang pernah menjabat Wakil Ketua MPRS (1966-1970) itu pada 19 Juni 2005 berangkat dari Bandung menuju Jakarta untuk menghadiri pemilihan Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Namun, di tengah perjalanan ia mengalami serangan jantung dan dilarikan ke RS PMI Bogor. Karena kondisinya tidak membaik, kemudian Selasa (21/6) dibawa ke RSPAD. Namun tidak tertolong dan meninggal dunia dalam usia 86 tahun.
Kemudian, jenazahnya dalam peti jenazah yang diselimuti bendera merah putih dibawa ke rumah duka di Jln. Ir. H. Juanda 115 Bandung dengan pengawalan militer, Rabu (22/6).
Dia seorang tokoh yang aktif dalam dunia kepanduan. Lulusan Technische Hogeschool, Bandung, itu dikenal sangat dekat di hati anak-anak muda. Dia telah aktif dalam jabatan struktural Gerakan Pramuka sejak 1961, sebagai Ketua Majelis Pembimbing Pramuka Jawa Barat, tatkala dia menjabat Gubernur Jabar (1960-1970).
Dia pun sempat menjabat Wakil Ketua MPRS (1967-1972). Kemudian 1974, dipercaya menjadi Ketua Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Jabar dan ditunjuk menjadi Wakil Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka. Lalu sempat menjabat Pjs Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka menggantikan Sarbini (1974-1978. Dalam Munas Gerakan Pramuka di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, 1978, dia terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka hingga 1993.
Mashudi, ayah dua anak dari hasil perkawinannya dengan Ny Yetty Rochyati, ini seorang tokoh yang sangat peduli pada pendidikan. Tokoh yang sangat disiplin ini antara lain berjasa besar kepada UPI. Dia menjadi dewan penyantun UPI selama puluhan tahun. Bahkan, dalam keadaan sakit, dia berusaha untuk ikut dalam pemilihan rektor UPI.
Dia selalau berpesan agar berpikir untuk masa depan! Menurutnya, orang akan cepat pikun jika selalu berpikir masa lalu. Prinsip hidup anak keenam dari 11 bersaudara pun sederhana. Prinsip itu dia terima dari ayahnya, Masdan Nataatmadja, yang selalu menekankan tidak akan mewariskan harta, tetapi akan mewariskan ilmu kepada anak-anaknya. e-ti/tsl

Senin, 03 September 2012

Bang Ali Sadikin

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/9d/Ali_Sadikin.jpg

Ali Sadikin (lahir di Sumedang, Jawa Barat, 7 Juli 1927 – meninggal di Singapura, 20 Mei 2008 pada umur 80 tahun)[1] adalah seorang letnan jenderal KKO-AL (Korps Komando Angkatan Laut) yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi Gubernur Jakarta pada tahun 1966. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai Deputi Kepala Staf Angkatan Laut, Menteri Perhubungan Laut Kabinet Kerja, Menteri Koordinator Kompartemen Maritim/Menteri Perhubungan Laut Kabinet Dwikora dan Kabinet Dwikora yang disempurnakan di bawah pimpinan Presiden Soekarno. Ali Sadikin menjadi gubernur yang sangat merakyat dan dicintai rakyatnya. Karena itu ia disapa akrab oleh penduduk kota Jakarta dengan panggilan Bang Ali sementara istrinya, Ny. Nani Sadikin, seorang dokter gigi, disapa Mpok Nani.

Gubernur Jakarta

Ali Sadikin adalah gubernur yang sangat berjasa dalam mengembangkan Jakarta menjadi sebuah kota metropolitan yang modern. Di bawah kepemimpinannya Jakarta mengalami banyak perubahan karena proyek-proyek pembangunan buah pikiran Bang Ali, seperti Taman Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan, Proyek Senen, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ria Monas, Taman Ria Remaja, kota satelit Pluit di Jakarta Utara, pelestarian budaya Betawi di kawasan Condet, dll. Bang Ali juga mencetuskan pesta rakyat setiap tahun pada hari jadi kota Jakarta, 22 Juni. Bersamaan dengan itu berbagai aspek budaya Betawi dihidupkan kembali, seperti kerak telor, ondel-ondel, lenong dan topeng Betawi, dsb.
Ia juga sempat memberikan perhatian kepada kehidupan para artis lanjut usia di kota Jakarta yang saat itu banyak bermukim di daerah Tangki, sehingga daerah tersebut dinamai Tangkiwood.
Selain itu, Bang Ali juga menyelenggarakan Pekan Raya Jakarta yang saat ini lebih dikenal dengan nama Jakarta Fair, sebagai sarana hiburan dan promosi dagang industri barang dan jasa dari seluruh tanah air, bahkan juga dari luar negeri. Ali Sadikin berhasil memperbaiki sarana transportasi di Jakarta dengan mendatangkan banyak bus kota dan menata trayeknya, serta membangun halte (tempat menunggu) bus yang nyaman.
Di bawah pimpinan Bang Ali, Jakarta berkali-kali menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) yang mengantarkan kontingen DKI Jakarta menjadi juara umum selama berkali-kali.
Salah satu kebijakan Bang Ali yang kontroversial adalah mengembangkan hiburan malam dengan berbagai klab malam, mengizinkan diselenggarakannya perjudian di kota Jakarta dengan memungut pajaknya untuk pembangunan kota, serta membangun kompleks Kramat Tunggak sebagai lokalisasi pelacuran. Di bawah kepemimpinannya pula diselenggarakan pemilihan Abang dan None Jakarta.
Masa jabatan Ali Sadikin berakhir pada tahun 1977, dan ia digantikan oleh Letjen. Tjokropranolo.

Setelah Tidak Menjadi Gubernur


Ali Sadikin di masa tuanya
Setelah berhenti dari jabatannya sebagai gubernur, Ali Sadikin tetap aktif dalam menyumbangkan pikiran-pikirannya untuk pembangunan kota Jakarta dan negara Indonesia. Hal ini membawanya kepada posisi kritis sebagai anggota Petisi 50, sebuah kelompok yang terdiri dari tokoh-tokoh militer dan swasta yang kritis terhadap pemerintahan mantan Presiden Soeharto.

Meninggal

Bang Ali meninggal di Singapura pada hari Selasa, 20 Mei 2008. Dia meninggalkan lima orang anak lelaki dan istri keduanya yang ia nikahi setelah Nani terlebih dahulu meninggal mendahuluinya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, anak sulung mantan presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana turut hadir melayat ke rumah duka.
Jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir.

Jumat, 20 April 2012

SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO IX


Sri Sultan Hamengkubuwono IX pahlawan nasional sekaligus tokoh paling berpengaruh terutama di wilayah kesultanan Yogyakarta. Dilahirkan dengan nama Bendoro Raden Mas Dorodjatun. Beliau putra dari Sri Sultan Hamengkubuwana VIII dan Raden Ajeng Kustilah dan lahir pada 12 April 1912 di Sompilan Ngasem, Yogyakarta.

Sebagai keturunan langsung Sultan Yogyakarta tanggal18 Maret 1940 ia dinobatkan sebagai Sultan dengan gelar"Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga. Ia adalah salah seorang Sultan yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta (1940-1988) dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama setelah kemerdekaan Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara tahun 1973-1978. Ia juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.

Ia merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar pemerintah RI memberi status khusus bagi Yogyakarta dengan predikat "Istimewa". Sebelum dinobatkan, Sultan yang berusia 28 tahun bernegosiasi secara alot selama 4 bulan dengan diplomat senior Belanda Dr. Lucien Adams mengenai otonomi Yogyakarta. Di masa Jepang, Sultan melarang pengiriman romusha dengan mengadakan proyek lokal saluran irigasi Selokan Mataram. Sultan bersama Paku Alam IX adalah penguasa lokal pertama yang menggabungkan diri ke Republik Indonesia. Sultan pulalah yang mengundang Presiden untuk memimpin dari Yogyakarta setelah Jakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda I. Beliau juga tokoh yang sangan berperan dalam peristiwa serangan umum 1 Maret 1949. Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN.
  
Riwayat Pendidikan 
  • Taman kanak-kanak atau Frobel School asuhan Juffrouw Willer di Bintaran Kidul 
  • Eerste Europese Lagere School (1925)
  • Hogere Burger School (HBS, setingkat SMP dan SMU) di Semarang dan Bandung (1931)
  • Rijkuniversiteit Leiden, jurusan Indologie (ilmu tentang Indonesia) kemudian ekonomi
Karir
  • Kepala dan Gubernur Militer Daerah Istimewa Yogyakarta (1945)
  • Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947)
  • Menteri Negara pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (3 Juli 1947 - 11 November 1947 dan 11 November 1947 - 28 Januari 1948)
  • Menteri Negara pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949)
  • Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri pada Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 - 20 Desember 1949)
  • Menteri Pertahanan pada masa RIS (20 Desember 1949 - 6 September 1950)
  • Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Natsir (6 September 1950 - 27 April 1951)
  • Ketua Dewan Kurator Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1951)
  • Ketua Dewan Pariwisata Indonesia (1956)
  • Ketua Sidang ke 4 ECAFE (Economic Commision for Asia and the Far East) dan Ketua Pertemuan Regional ke 11 Panitia Konsultatif Colombo Plan (1957)
  • Ketua Federasi ASEAN Games (1958)
  • Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (5 Juli 1959)
  • Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan dan Pariwisata (1963)
  • Menteri Koordinator Pembangunan (21 Februari 1966)
  • Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi 11 (Maret 1966)
  • Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1968)
  • Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia/KONI (1968)
  • Ketua Delegasi Indonesia di Konferensi Pasific Area Travel Association (PATA) di California, Amerika Serikat (1968)
  • Wakil Presiden Indonesia (25 Maret 1973 - 23 Maret 1978)
Hamengkubuwana IX diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia tanggal 8 Juni 2003 oleh presiden Megawati Soekarnoputri.  Sultan Hamengku Buwana IX juga  tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988. Pada 2 Oktober 1988, ia wafat di George Washington University Medical Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Indonesia.

Sabtu, 17 Maret 2012

BUDAYA GEHGERAN


by Ridwan Iskandar on Wednesday, 11 November 2009 at 04:44 ·
Ieu aya sakedik seratan kanggo dulur-dulur hususna urang Sunda umumna ka sing saha wae nu micinta budaya Sunda. Malahmandar aya mangpaatna ka balarea.

Lamun ditilik tina jihat fisik, sacara umum urang Sunda teh geus napak dina alam globalisasi. Ieu hal bisa katiten dina widang teknologi jeung infor-masi, ki Sunda geus bisa nyaluyukeun diri kana kamajuan jaman. Naon rupa teknologi jeung informasi anu datang ti luar, gasik dibageakeun, ki Sunda teu weleh rikat tur tanginas dina ngungkulan robahna usum. Ti mimiti tek-nologi undagi nepi ka teknologi internet ki Sunda teu kapandeurian.Teu sa-eutik wangunan nu dicor beton, nepi ka gunung-gunung jeung basisir oge dipelakan tangkal beusi. Tower celuler di mana-mana. Model wangunan imah ala Eropa, Amerika jeung Latin ngabadeg, sok komo di pakotaan dalah di pasisian oge geus rajeg model-model imah ala Eropa. Aya nu mangrupa imah biasa paragi padumukan, aya oge nu mangrupa “Villa” paniisan para gegeden jeung menak. Pon kitu deui dina cara ngagunakeun papakean, ti mimiti papa-kean tradisional, modern jeung busana muslim ala Timur -Tengah teu ka-larung. Tetela yen ki Sunda nepi ka poe ieu geus bisa ngojayan paneka ja-man. Dina widang informasi jeung komunikasi geus ilahar ngagunakeun “handphone” (HP), teu si-rikna mahabu nepi ka lapisan masarakat nu pang-handapna. Lain kaum intelek wungkul nu bisa ngagunakeun fasilitas HP teh, tapi masarakat biasa oge geus teu ”gaptek” (gagap teknologi) deui ka-na ieu teknologi. Malahan mah dina internet geus aya komunitasna, di- antarana: Kus.Net (Komunitas urang Sunda di internet) jeung ki Sukma-Sunda anu eusina mangrupakeun hal-ihwal ka-Sunda-an. Lian ti eta, dina internet geus aya blog Sunda, di dinya bisa wawanohan jeung silih pairan pamadegan sarta nambahan kaweruh hususna dina widang ka-Sunda-an jeung elmu pangaweruh lianna. Sawala ge bisa ngaliwatan internet kalawan media nu digunakeunana media basa Sunda. Horeng di dunya maya rea ke-neh urang Sunda nu masih rumawat, ngarumat kana jati dirina. Ngan lamun diprosentasekeun tina jumlah urang Sunda sagemblengna, relatif saeutik keneh urang Sunda nu make fasilitas internet kalawan ngagunakeun media basa Sunda tur medar ngeunaan ka-Sunda-an. Pikeun saheulaanan, palebah dieu mah urang teu hariwang , yen basa Sunda teh bakal tumpur sakumaha anu dihariwangkeun ku sastrawan jeung budayawan kahot Ajip Rosidi. Ana kitu mah boa-boa urang Sunda teh “jiga aya tapi euweuh jiga euweuh tapi aya …” kawas siloka Siliwangi; “Esa hilang dua terbilang …” atawa kawas elmu “pancasona” dina pawayangan “sarebu kali mati sarebu kali hirup …” sanajan basa Sunda ditumpuran di lemburna pisan, tapi masih ngancik di dunya maya, tetela yen Sunda teh aya (eksis). Sarta dina filosopi “napak sancang” anu harti asalna mah napak sancang teh bisa leumpang dina beungeut cai, kiwari bisa dianalogikeun yen napak sancang teh bisa napak dina sagala widang. Sanajan cek sawareh inohong mah basa Sunda nyirorot panyaturna teh balukar tina proses globalisasi, akulturasi, jeung faktor geografis Jawa barat anu deukeut ka puseur nagara nyaeta Jakarta. Sa-estuna lamun urang nitenan faktor geografis, lain Jawa Barat nu deukeut ka Jakarta, tapi Jakarta anu aya di wewengkon pulo Jawa bagian barat. Malah bandar labuhanana oge apan Sunda Kalapa. Urang teu bisa mopoho-keun kana “History of Java” kitu bae. Sakabeh suku bangsa jeung pa-lancong ti mancanagara aya di Jawa Barat. Nu ngadon bubuara, nu sarako-la, sarta nu neangan napakah di Jawa Barat teh ngaleuya ti mana-mana. Tapi lamun eta tiori dilarapkeun ka Jawa Tengah, Jawa Timur atawa Bali jigana pasalia. Naha di Jawa Tengah, Jawa Timur, di Bali atawa di pulo-pulo sejenna nu aya di sakuriling-bungking Indonesia teu aya globalisasi jeung akulturasi anu diwuwuh ku leuwih jauh ti puseur nagara. Puguh Jawa Timur jeung Bali mah leuwih deukeut ka nagri deungeun (Australia) sarta palan-cong leuwih rea jeung baretaheun di pulo Dewata, tapi basa indungna sa-kulit- sadaging satulang-sasungsum. Naha urang teu ngeunteung ka dinya? Ceuk apriorina, mun kitu mah daya apresiasi urang kana jati diri teh po-hara hengkerna. Saenyana sakadang globalisasi jeung akulturasi mah teu kudu dijadikeun munding hideungna. Lantaran eta mah geus sacara alami (sunatulloh), hiji bangsa atawa etnis mana wae di dunya teu bisa hirup mencil nyorangan tansah campur gaul jeung etnis lianna. Saperti nu kapanggih dina salasahiji guguritan pupuh pucung sanggian buhun:

Utamana jalma kudu rea batur
keur silih tulungan
silih titipkeun nya diri
budi akal lantaran ti pada jalma

Sidik pisan ti girangna keneh ki Sunda geus mere pangjurung, yen hirup
teh kudu campur gaul jeung papada kaula, boh urangna nu ngumbara boh batur nu ngumbara di urang. Ngan pacuan ulah kadalon-dalon, lali kana pur-wadaksi poho ka temahwadi, anu antukna basa Sunda lir ibarat semah di lemah caina sorangan. Sanajan teu ngaliwatan panalungtikan anu otentik, ngan ukur observasi di sababaraha tempat, yen panyatur basa Sunda beuki nyaeutikan bae. Ieu hal bisa katangen sacara kasat mata dina kahirupan sapopoe. Indikasi anu pangjentrena lamun budak dititah nyieun pancen basa Sunda ti sakola, tibatan ngagugu rea pisan nu ngawaguna. Ieu toton-den lain di hiji sakola bae, tapi di sababaraha sakola tur teu ngalingkup di kota wungkul, di pilemburan ge geus nangara. Ciciren yen di imahna ku ko-lotna tara dibiasakeun nyarita ku basa Sunda. Malah aya budak jeung kolotna anu ngaku yen di imahna geus teu make basa Sunda deui, lantaran lamun nyarita ku basa Sunda, babaturanana di sakola teu ngalartieun (tina sample di kota). Ari di pilemburan mah sawareh responden nyebutkeun yen di imah teu dibiasakeun nyarita Sunda ti leuleutik teh alesanana sieun di sakola teu bisa nyarita basa Indonesia. Padahal jumlah jam Basa Indo-nesia mah leuwih kerep ti batan jam pangajaran basa Sunda, saestuna teu kudu dipake karempan teu bisa nyarita dina basa Indonesia. Lantaran dina etalaseu (tv jeung radio) nu aya di panganjrekan sewang-sewangan, media nu digunakeunana 99% ngagunakeun basa Indonesia. Aya oge nu gehgeran wae, tv-isme jeung iklanisme, basa nu dipake teh nurutan para selebritis jeung bentang iklan.
Memang teu salah, jeung teu haram ngagunakeun basa niru-niru selebriti atawa “basa gaul” teh , malah salasahiji prinsip basa nyaeta arbitrer (ma-nasuka/ sakahayang). Tapi pan kudu luyu dina situasi kumaha, jeung saha u-rang nyarita, naon nu dicaritakeun kudu larap jeung merenah dina tempat-na. Sarta dina bagbagan basa oge aya nu disebut ragam basa. Saperti ra-gam basa budak sakola, ragam basa hormat, ragam basa pasar, ragam basa terminal, ragam basa kantor, ragam basa pejabat, ragam basa ilmiah, ra-gam basa slank, ragam basa jurnalis, ragam basa selebriti jrrd. Biasana la-mun basa indungna bener tur mernah, basa kaduana oge sok nuturkeun me-renah atawa teu mencog teuing. Ngan anu leuwih parna tina indikasi ku na-on basa Sunda teu kapalire jeung rek tumpur, nyaeta aya asumsi geus teu reueus deui, jeung dianggap kurang nguntungkeun lamun nyarita dina basa Sunda. Padahal sanajan nyarita dina basa Indonesia atawa basa gaul naon wae oge can tangtu nguntungkeun lamun tema jeung bahan pagunemanana mancawura teu puguh juntrunganana mah. Nya ari jeung papada ki Sunda deui mah leuwih payus sarta leuwih kayungyun lamun nyarita ku basa Sunda teh, turta leuwih apresiatif. Duka mun ngarasa leuwih gagah atawa leuwih gaya mun nyarita henteu ku basa Sunda. Wallohu’alam…
Naon pangna urang kudu ngamumule basa karuhun urang? Lantaran ki se-mah atawa deungeun-dengeun ngarajenan ka urang teh ku sabab urang nga-bogaan cahara budaya anu mangrupakeun kreatifitas hasil budidayana so-rangan, anu euweuh di arinyana. Sabalikna lamun urang gehgeran wae nuru-tan budaya deungeun tansah tedeng aling-aling, tanwande bakal jadi bang-sa anu teu nyaho saha sabenerna ari dirina?. Iwal, lamun ngamum kana bu-daya deungeun teh pikeun kapentingan paelmuan jeung ngeuyeuban kana paranggong budaya urang.
Bangsa anu diajenan ku dunya Internasional nyaeta bangsa anu ngabogaan norma- etika jeung budaya nasional anu ngabedakeun ti bangsa-bangsa lianna di dunya. Ki Hajar Dewantara (R.M Suwardi Surya Ningrat) kungsi netelakeun yen “budaya nasional teh puncakna budaya Nusantara anu aya di daerah-daerah di sakuliahing Nusantara.” Ieu kalimah teh lain kalimah samanea, buktina jelema-jelema ti mancanagara ngaraleut ngeungkeuy ngabandaleut harayang diajar adat-istiadat karuhun urang. Nu ngadon diajar penca, ngibing, ngawih, nabeuh gamelan jeung waditra Sunda lianna, jrrd. Salian ti eta arinyana oge dialajar basa Sunda. Maranehna (wisatawan mancanagara) lain ngan ukur hayang ningali kaenda-han alam nu aya di urang.
Kitu deui bujangga Sunda anu moyan Panghulu Haji Hasan Mustapa nyebutkeun dina bukuna Bab Adat-adat Oerang Priangan djeung Oerang Soenda Lian ti Eta (1913) yen: “Ieu kabeh kiriman beunangna ngala ti man-canagara, henteu sakumaha maneuhna pageuhna, ngan saukur jadi perhias-an bae.” (kaca 162) Maranehna nu geus wanoh kana adat-istiadat budaya luar tungtungna baralik deui neuleuman adat-istiadat Sunda kalawan hate nu bagja. Nepi ka dina kaca 163 anjeunna nyerat kieu: “Kaula nu nyieun ieu buku Sunda tulen, adat Sunda tulen, beunangna bangsa Sunda tulen.”
Pikeun sabengbatan mah, kamajuan dina jihat fisik jeung teknologi urang Sunda di Jawa Barat bisa disebut teu tinggaleun teuing. Jeung memang, sagala rupa elmu panemu katut kaulinan nu jolna ti luar sa-optimal mungkin ku urang kudu diteuleuman nepi ka bisa ngamangpaatkeunana kalawan luyu jeung kaayaan sosio-kultural nu nyampak di urang, sangkan ki Sunda hu-susna; umumna Indonesia bisa sajajar jeung ngungkulan bangsa-bangsa deungeun nu aya di dunia. Lain ngan ukur gehgeran atawa tuturut munding wungkul, anu temahna ngabalukarkeun adean ku kuda beureum.

( Dimuat dalam Majalah Pendidikan UPI CAHARA BUMI SILIWANGI ISSN 2085-322X No.3 Oktober 2009 )


Jumat, 16 Maret 2012

BHINEKA TUNGGAL IKA TINGGAL KENANGAN Oleh: M. Ridwan Iskandar



Bicara tentang palsafah dan lambang Negara memang sangat mudah untuk diucapkan namun teramat sulit untuk difahami dan dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terutama bagi generasi pengisi kemerdekaan, yang tidak merasakan bagaimana perjuangan dan pengorbanan para pendiri Negara ini. Tidak sedikit cucuran keringat, darah, air mata , harta benda bahkan nyawa sekalipun rela mereka korbankan demi berdirinya Negara yang didasarkan kepada azas yang digali dari kebudayaan asli Indonesia yang ruhnya adalah kebhinekaan bangsa Indonesia. Bhineka tunggal ika yang berarti berbeda-beda suku bangsa, agama, dan ras tetapi tetap satu naungan yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, mencerminkan betapa kaya dan melimpahnya kebudayaan yang kita miliki. Namun sayangnya di kemudian hari tercabik-cabik oleh tangan-tangan tidak bertanggung jawab dan tidak menghargai jasa para pahlawan dan para pendahulu yang tulus ikhlas berjuang dan berkorban untuk terwujudnya suatu Negara yang berlandaskan pada Pancasila yang notabene asli produk Indonesia tanpa mencontek dari kebudayaan luar manapun. Tetapi apapun alasannya, faktanya kebudayaan daerah yang mendukung kebhineka tunggal ikaan bangsa dan Negara Indonesia semakin terpuruk dan terpinggirkan dari percaturan di dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkup formal maupun informal. Terutama bahasa daerah yang kian hari kian langka dan nyaris punah dari peradaban (dalam hal ini bahasa Sunda).
Bahasa daerah merupakan salah satu aset kebudayaan yang mendukung ciri khas / jati diri keragaman budaya Indonesia seutuhnya. Kesadaran para pendahulu untuk memelihara keragaman budaya daerah tercermin seperti yang diamanatkan di dalam UUD ‘45 pasal 32 dan 36 berikut penjelasannya:

“ Pemerintah memajukan kebudayaan Nasional Indonesia. Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia” (Pasal 32 dan penjelasannya).
“ Bahasa negara ialah bahasa Indonesia.
Telah jelas.
Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura dan sebagainya), bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh Negara. Bahasa-bahasa itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup” (pasal 36 dan penjelasannya).

Upaya-upaya yang dilakukan untuk pelestarian budaya daerah bermunculan, baik dari para pakar, budayawan, sastrawan Sunda maupun pemerintah. Salah satu upaya pemerintah yaitu mengeluarkan Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah, bahasa daerah diajarkan di pendidikan formal dan non formal di Jawa Barat dari TK hingga tingkat SMA dan yang sederajat. Tidak ketinggalan di instansi-instansi pemerintah di dalam satu minggu hari kerja pada hari-hari tertentu para pejabat dan pegawai diwajibkan untuk menggunakan bahasa Sunda. Upaya pribadipun tak pelak dilakukan seperti pendirian yayasan-yayasan yang bercirikan budaya Sunda.
Namun ketika dijumpai di perkotaan di Jawa barat seperti di terminal- terminal di pusat-pusat perbelanjaan, hiburan atau di tempat peribadatan sekalipun sudah jarang ditemukan orang bercakap-cakap menggunakan bahasa daerahnya, ini dijumpai terutama di kota Bandung dan sekitarnya. Padahal kota Bandung merupakan Ibu kota Jawa Barat yang terkenal dengan ramah tamah dan halus budi bahasa Sunda-nya. Kini hampir tak ditemukan anak-anak yang bermain di gang-gang atau di pekarangan rumahnya bercanda tawa menggunakan bahasa leluhurnya. Denyut-denyut nadi bahasa Sunda yang tersisa hanya ada pada acara televisi yang disiarkan di beberapa TV lokal dan siaran radio RRI Bandung, sayangnya siaran tersebut tidak dapat diterima dengan baik di pelosok daerah di Jawa Barat. Walhasil masyarakat Sunda yang berada di luar kota Bandung tidak dapat mengapresiasi siaran- siaran yang bertemakan pelestarian budaya. Sehingga masyarakat Sunda yang berada di pedesaan lebih banyak mengapresiasi dan mengadopsi siaran TV komersil yang isinya cenderung konsumtif. Pantas dan sangat aksioma kalau pengikisan kebudayaan Sunda bukan hanya terjadi di kota-kota besar saja di Jawa Barat, akan tetapi sudah merambah ke desa-desa dan pesisir. Lalu siapa yang berkompetensi menanggulangi dampak negatif dari arus globalisasi ini?
Di wilayah pendidikan, siswa berada di lingkungan sekolah hanya sebatas jam belajar di sekolah. Ditambah lagi belum adanya denyut kesadaran, bahwa pewarisan kebudayaan daerah adalah bukanlah tanggung jawab guru mata pelajaran bahasa Sunda semata, apalah artinya seorang guru mata pelajaran mulok wajib bahasa Sunda tanpa dukungan guru mata pelajaran lainnya yang tentunya walaupun tidak mengajar bahasa Sunda namun pada umumnya tenaga pendidik di tatar Sunda sudah pasti dominan orang Indonesia suku Sunda yang sudah sepantasnya turut serta membentuk watak dan kepribadian siswa sesuai amanat UUD’45 pasal 32dan 36 serta Perda Proivinsi Jawa Barat nomor 5 Tahun 2003. Di dalam pelestarian budaya Sunda di sekolah tidak ada kata istilah “ Ah… da lain guru basa Sunda.!.”
(“ Ah… bukan guru bahasa Sunda “ ). Paling tidak, guru yang bukan guru mata pelajaran bahasa Sunda secara moril mendukung pelestarian bahasa Sunda di lingkungan sekolah.
Belum Lagi dikotomi UN (Ujian Nasional) dan UAS (Ujian Akhir Sekolah) yang membuat kesan di mata siswa dan orang tua siswa seolah-olah prioritas pelajaran adalah mata pelajaran yang di-UN-kan saja, padahal minat dan bakat siswa tidak bisa disamaratakan seperti itu. Pendidikan adalah proses. Tidak seperti memakan cabai rawit, sekarang dimakan sekarang terasa pedasnya. Atau seperti memakan gula-gula, sekarang dimakan sekarang terasa manisnya.
Keberhasilan pendidikan adalah keberhasilan “output” dalam artian siswa yang dikategorikan cerdas dan kurang cerdas di sekolahnya itu kelak menjadi apa atau berbuat apa?
Segala yang diproyeksikan oleh guru dan orang tua siswa di depan siswa akan membentuk karakter siswa di kemudian hari. Seperti pepatah usang yang tetap faktual “guru ratu wong atua karo” jelas sekali setiap guru adalah ratu bagi siswa-siswanya, setiap ratu adalah orang tua bagi rakyatnya, setiap orang tua adalah guru dan ratu bagi anak-anaknya. Jika prosentase yang diproyeksikan lebih banyak nilai-nilai kebajikan maka “output” tidak akan jauh melenceng seperti yang diproyeksikan, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian tidak ada yang lebih berkompetensi menanggulangi dampak negatif dari arus globalisasi, akan tetapi semua fihak berkompetensi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Dan tidak ada pengkambinghitaman apabila terjadi ketidakberhasilan “output” di kemudian hari.
Ada siswa yang cerdas hampir di setiap mata pelajaran dan ada pula siswa yang cerdas hanya dalam mata pelajaran tertentu saja. Marilah kita sikapi secara arif dan bijaksana, karena kecerdasan Intelegen Questioner (IQ) yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia termasuk siswa tidaklah sama, untuk pembinaan minat siswa mungkin bisa dikondisikan atau diarahkan, akan tetapi untuk bakat bawaan seperti IQ tidak bisa ditambah atau dikurangi. Untuk IQ hanya bisa dilatih, dibantu supaya tidak terlalu tertinggal oleh siswa yang tingkat IQ-nya lebih tinggi. Maka pada dasarnya bakat bawaan tingkat kecerdasan IQ tidak bisa ditambah atau dikurangi. Siswa yang hanya dilatih kecerdasan intelektualnya saja tanpa dibekali dengan kecerdasan emosi cenderung seperti hewan yang mengarah kepada”homo homonilupus” dan tidak menghargai hal-hal yang bersifat afektif dan etika. Biasanya lebih menghargai hal yang bersifat kebendaan. Merasa diri lebih dari yang lainnya dan menjadi super-ego.
Apabila kita kaji lebih mendalam, di dalam budaya Sunda banyak sekali terdapat nilai-nilai luhur yang harus dipertahankan dan diwariskan kepada anak-anak bangsa seperti prinsip-prinsip: “Cageur, bageur, bener, pinter,singer lahir bathinna”. (Sehat, baik, benar, pandai, dan terampil lahir bathinnya),
Jadi, manusia di dalam perspektif kebudayaan Sunda bukan sekedar dibesarkan untuk menjadi pandai saja atau sehat saja apalagi hanya sehat dan pandai lahiriahnya saja, akan tetapi diharapkan menjadi manusia yang cerdas secara komprehensif. Atau dalam pepatah Sunda “Kudu jadi jalma anu masagi salamet dunya jeung aherat” (Jadilah orang yang luhur selamat dunia dan akhirat).
Betapa banyak nilai-nilai luhur ketimuran terutama mengenai tatakrama dan etika yang bisa dipetik dari mata pelajaran bahasa Sunda dan diproyeksikan kepada siswa, namun sayangnya di beberapa sekolah terkesan mata pelajaran Bahasa Sunda sepertinya hanya merupakan kurikulum “pangjejeg” (pelengkap) saja. Mudah-mudahan dengan kondisi seperti ini Bhineka Tunggal Ika tidak tinggal menjadi kenangan dan denyut kesadaran akan jati diri bangsa segera pulih kembali.

Sabtu, 15 Oktober 2011

Biografi Presiden Soeharto | Biografi Tokoh Dunia | Biografi dan Profil Tokoh Terkenal

Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk, Yogyakarta, tanggal 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga sebagai pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah.

Soeharto masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah. Semula disekolahkan di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Lalu pindah ke SD Pedes, lantaran ibunya dan suaminya, Pak Pramono pindah rumah, ke Kemusuk Kidul. Namun, Pak Kertosudiro lantas memindahkannya ke Wuryantoro. Soeharto dititipkan di rumah adik perempuannya yang menikah dengan Prawirowihardjo, seorang mantri tani.



Sampai akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941. Beliau resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai Mangkunegaran.

Perkawinan Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai enam putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.

Jenderal Besar H.M. Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer dan politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel.

Pada tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal Panglima Besar Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat).

Tanggal 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Tugasnya, mengembalikan keamanan dan ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.

Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan selaku Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih dari tiga dasa warsa lewat enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21 Mei 1998.

residen RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.

Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.

Kemudian sekira pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi tertabrak.

Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Isak tangis warga pecah begitu rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekira pukul 14.55, Minggu (27/1).
Seementara itu, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.