Jumat, 16 Maret 2012

BHINEKA TUNGGAL IKA TINGGAL KENANGAN Oleh: M. Ridwan Iskandar



Bicara tentang palsafah dan lambang Negara memang sangat mudah untuk diucapkan namun teramat sulit untuk difahami dan dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terutama bagi generasi pengisi kemerdekaan, yang tidak merasakan bagaimana perjuangan dan pengorbanan para pendiri Negara ini. Tidak sedikit cucuran keringat, darah, air mata , harta benda bahkan nyawa sekalipun rela mereka korbankan demi berdirinya Negara yang didasarkan kepada azas yang digali dari kebudayaan asli Indonesia yang ruhnya adalah kebhinekaan bangsa Indonesia. Bhineka tunggal ika yang berarti berbeda-beda suku bangsa, agama, dan ras tetapi tetap satu naungan yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, mencerminkan betapa kaya dan melimpahnya kebudayaan yang kita miliki. Namun sayangnya di kemudian hari tercabik-cabik oleh tangan-tangan tidak bertanggung jawab dan tidak menghargai jasa para pahlawan dan para pendahulu yang tulus ikhlas berjuang dan berkorban untuk terwujudnya suatu Negara yang berlandaskan pada Pancasila yang notabene asli produk Indonesia tanpa mencontek dari kebudayaan luar manapun. Tetapi apapun alasannya, faktanya kebudayaan daerah yang mendukung kebhineka tunggal ikaan bangsa dan Negara Indonesia semakin terpuruk dan terpinggirkan dari percaturan di dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkup formal maupun informal. Terutama bahasa daerah yang kian hari kian langka dan nyaris punah dari peradaban (dalam hal ini bahasa Sunda).
Bahasa daerah merupakan salah satu aset kebudayaan yang mendukung ciri khas / jati diri keragaman budaya Indonesia seutuhnya. Kesadaran para pendahulu untuk memelihara keragaman budaya daerah tercermin seperti yang diamanatkan di dalam UUD ‘45 pasal 32 dan 36 berikut penjelasannya:

“ Pemerintah memajukan kebudayaan Nasional Indonesia. Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia” (Pasal 32 dan penjelasannya).
“ Bahasa negara ialah bahasa Indonesia.
Telah jelas.
Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura dan sebagainya), bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh Negara. Bahasa-bahasa itupun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup” (pasal 36 dan penjelasannya).

Upaya-upaya yang dilakukan untuk pelestarian budaya daerah bermunculan, baik dari para pakar, budayawan, sastrawan Sunda maupun pemerintah. Salah satu upaya pemerintah yaitu mengeluarkan Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah, bahasa daerah diajarkan di pendidikan formal dan non formal di Jawa Barat dari TK hingga tingkat SMA dan yang sederajat. Tidak ketinggalan di instansi-instansi pemerintah di dalam satu minggu hari kerja pada hari-hari tertentu para pejabat dan pegawai diwajibkan untuk menggunakan bahasa Sunda. Upaya pribadipun tak pelak dilakukan seperti pendirian yayasan-yayasan yang bercirikan budaya Sunda.
Namun ketika dijumpai di perkotaan di Jawa barat seperti di terminal- terminal di pusat-pusat perbelanjaan, hiburan atau di tempat peribadatan sekalipun sudah jarang ditemukan orang bercakap-cakap menggunakan bahasa daerahnya, ini dijumpai terutama di kota Bandung dan sekitarnya. Padahal kota Bandung merupakan Ibu kota Jawa Barat yang terkenal dengan ramah tamah dan halus budi bahasa Sunda-nya. Kini hampir tak ditemukan anak-anak yang bermain di gang-gang atau di pekarangan rumahnya bercanda tawa menggunakan bahasa leluhurnya. Denyut-denyut nadi bahasa Sunda yang tersisa hanya ada pada acara televisi yang disiarkan di beberapa TV lokal dan siaran radio RRI Bandung, sayangnya siaran tersebut tidak dapat diterima dengan baik di pelosok daerah di Jawa Barat. Walhasil masyarakat Sunda yang berada di luar kota Bandung tidak dapat mengapresiasi siaran- siaran yang bertemakan pelestarian budaya. Sehingga masyarakat Sunda yang berada di pedesaan lebih banyak mengapresiasi dan mengadopsi siaran TV komersil yang isinya cenderung konsumtif. Pantas dan sangat aksioma kalau pengikisan kebudayaan Sunda bukan hanya terjadi di kota-kota besar saja di Jawa Barat, akan tetapi sudah merambah ke desa-desa dan pesisir. Lalu siapa yang berkompetensi menanggulangi dampak negatif dari arus globalisasi ini?
Di wilayah pendidikan, siswa berada di lingkungan sekolah hanya sebatas jam belajar di sekolah. Ditambah lagi belum adanya denyut kesadaran, bahwa pewarisan kebudayaan daerah adalah bukanlah tanggung jawab guru mata pelajaran bahasa Sunda semata, apalah artinya seorang guru mata pelajaran mulok wajib bahasa Sunda tanpa dukungan guru mata pelajaran lainnya yang tentunya walaupun tidak mengajar bahasa Sunda namun pada umumnya tenaga pendidik di tatar Sunda sudah pasti dominan orang Indonesia suku Sunda yang sudah sepantasnya turut serta membentuk watak dan kepribadian siswa sesuai amanat UUD’45 pasal 32dan 36 serta Perda Proivinsi Jawa Barat nomor 5 Tahun 2003. Di dalam pelestarian budaya Sunda di sekolah tidak ada kata istilah “ Ah… da lain guru basa Sunda.!.”
(“ Ah… bukan guru bahasa Sunda “ ). Paling tidak, guru yang bukan guru mata pelajaran bahasa Sunda secara moril mendukung pelestarian bahasa Sunda di lingkungan sekolah.
Belum Lagi dikotomi UN (Ujian Nasional) dan UAS (Ujian Akhir Sekolah) yang membuat kesan di mata siswa dan orang tua siswa seolah-olah prioritas pelajaran adalah mata pelajaran yang di-UN-kan saja, padahal minat dan bakat siswa tidak bisa disamaratakan seperti itu. Pendidikan adalah proses. Tidak seperti memakan cabai rawit, sekarang dimakan sekarang terasa pedasnya. Atau seperti memakan gula-gula, sekarang dimakan sekarang terasa manisnya.
Keberhasilan pendidikan adalah keberhasilan “output” dalam artian siswa yang dikategorikan cerdas dan kurang cerdas di sekolahnya itu kelak menjadi apa atau berbuat apa?
Segala yang diproyeksikan oleh guru dan orang tua siswa di depan siswa akan membentuk karakter siswa di kemudian hari. Seperti pepatah usang yang tetap faktual “guru ratu wong atua karo” jelas sekali setiap guru adalah ratu bagi siswa-siswanya, setiap ratu adalah orang tua bagi rakyatnya, setiap orang tua adalah guru dan ratu bagi anak-anaknya. Jika prosentase yang diproyeksikan lebih banyak nilai-nilai kebajikan maka “output” tidak akan jauh melenceng seperti yang diproyeksikan, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian tidak ada yang lebih berkompetensi menanggulangi dampak negatif dari arus globalisasi, akan tetapi semua fihak berkompetensi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Dan tidak ada pengkambinghitaman apabila terjadi ketidakberhasilan “output” di kemudian hari.
Ada siswa yang cerdas hampir di setiap mata pelajaran dan ada pula siswa yang cerdas hanya dalam mata pelajaran tertentu saja. Marilah kita sikapi secara arif dan bijaksana, karena kecerdasan Intelegen Questioner (IQ) yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia termasuk siswa tidaklah sama, untuk pembinaan minat siswa mungkin bisa dikondisikan atau diarahkan, akan tetapi untuk bakat bawaan seperti IQ tidak bisa ditambah atau dikurangi. Untuk IQ hanya bisa dilatih, dibantu supaya tidak terlalu tertinggal oleh siswa yang tingkat IQ-nya lebih tinggi. Maka pada dasarnya bakat bawaan tingkat kecerdasan IQ tidak bisa ditambah atau dikurangi. Siswa yang hanya dilatih kecerdasan intelektualnya saja tanpa dibekali dengan kecerdasan emosi cenderung seperti hewan yang mengarah kepada”homo homonilupus” dan tidak menghargai hal-hal yang bersifat afektif dan etika. Biasanya lebih menghargai hal yang bersifat kebendaan. Merasa diri lebih dari yang lainnya dan menjadi super-ego.
Apabila kita kaji lebih mendalam, di dalam budaya Sunda banyak sekali terdapat nilai-nilai luhur yang harus dipertahankan dan diwariskan kepada anak-anak bangsa seperti prinsip-prinsip: “Cageur, bageur, bener, pinter,singer lahir bathinna”. (Sehat, baik, benar, pandai, dan terampil lahir bathinnya),
Jadi, manusia di dalam perspektif kebudayaan Sunda bukan sekedar dibesarkan untuk menjadi pandai saja atau sehat saja apalagi hanya sehat dan pandai lahiriahnya saja, akan tetapi diharapkan menjadi manusia yang cerdas secara komprehensif. Atau dalam pepatah Sunda “Kudu jadi jalma anu masagi salamet dunya jeung aherat” (Jadilah orang yang luhur selamat dunia dan akhirat).
Betapa banyak nilai-nilai luhur ketimuran terutama mengenai tatakrama dan etika yang bisa dipetik dari mata pelajaran bahasa Sunda dan diproyeksikan kepada siswa, namun sayangnya di beberapa sekolah terkesan mata pelajaran Bahasa Sunda sepertinya hanya merupakan kurikulum “pangjejeg” (pelengkap) saja. Mudah-mudahan dengan kondisi seperti ini Bhineka Tunggal Ika tidak tinggal menjadi kenangan dan denyut kesadaran akan jati diri bangsa segera pulih kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar