Sabtu, 29 Mei 2010

Mengenal Inohong / Tokoh Nasional dari Bumi Minahasa: ROBERT WOLTER MONGINSIDI


Sekilas Tentang Robert Wolter Monginsidi


Tegar Berdiri Dihadapan Regu Tembak

( Diriwayatkan kembali oleh Drs A Noldi Mandagie dalam peringatan 56 tahun wafatnya Bote di Tana’ Lapang Malalayang, Senin 05 September 2005 )

Tanggal 14 Februari 1925, dari kandungan ibu pertiwi lahirlah seorang anak bangsa nan perkasa, Robert Wolter Monginsidi, anak suku Bantik di pesisir desa Malalayang, sebagai putera ke 4 dari 11 bersaudara, hasil buah cinta Petrus Monginsidi dengan Lina Suawa. Wolter Monginsidi dengan panggilan kesayangan ‘ BOTE’ tumbuh sebagai seorang anak yang berani percaya diri, jujur, serta cerdas dan pantang menyerah.

Menuntut ilmu pengetahuan menjadi tekadnya yang bulat walau situasi dan kondisi sangat berat untuk diterobos. Namun dengan semangatnya yang membara ia berjuang merebut peluang memasuki dunia pendidikan HIS tahun 1931, kemudian melangkah penuh kepastian ke Sekolah MULO Frater Don Bosco Manado dan berlanjut ke Sekolah Pertanian yang didirikan Jepang di Tomohon serta Sekolah Guru Bahasa Jepang, yang akhirnya membawa dia sebagai guru Bahasa Jepang di Malalayang Liwutung dan Luwuk Banggai dalam usia muda 18 tahun.

Genggaman tangan-tangan penjajah, semakin membangkitkan semangat juang Wolter Monginsidi, untuk terus mengejar cita-citanya, belajar dan terus belajar, sampai ia memapaki kakinya di Makassar dan masuk SNIP Nasional kelas III di tahun 1945.

Namun dihari-hari perjuangannya menuntut ilmu di Makassar. Wolter Monginsidi semakin tak kuasa menyaksikan kekejaman kaum penjajah. Jiwa patriotismenya makin membara. Untuk lebih efektif dan berdaya guna semua potensi yang ada untuk kepentingan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maka pada tanggal 17 Juli 1946, diadakan konferensi di desa Rannaya. Dalam konferensi itu, dibentuk suatu induk organisasi kelaskaran yang disebut LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi), terpilih sebagai Ketua Ranggong daeng rongo, Sekjen Wolter Monginsidi.

Keberanian kecerdasan dan pembawaan diri Wolter Monginsidi telah membuatnya makin disegani dan dipercaya sampai memimpin aksi pertempuran melawan tentara Belanda baik didalam kota maupun dilaur kota. Dengan berbagai taktik dan strategi Wolter memimpin gerakan perlawan yang mencengangkan serta menegangkan pihak Belanda.

Keberhasilan dalam perjuangannya melawan penjajah, serta tekadnya untuk membebaskan bangsa ini dari cengkeraman penjajah sungguh tak dapat diraihnya dengan tuntas karena pada tanggal 28 Februari 1947 Wolter ditangkap tentara Belanda di Sekolah SMP Nasional Makassar.

Walau rantai-rantai mengikatnya dibelakang terali besi, namun niat untuk meneruskan perjuangan bersama putra-putra bangsa terbaik tetap bergelora agar terbebas dari kunkungan penjajah. Pada tanggal 17 Oktober 1948 malam, bersama Abdullah Hadade, HM Yoseph dan Lewang Daeng Matari melarikan diri dari penjara melalui cerobong asap dapur, sebelum pelarian dilaksanakan, kawan-kawan Wolter dari luar telah menyelundupkan 2 buah granat tangan yang dimasukan di dalam roti.

Namun, walaupun tekadnya dapat terwujud tapi udara kebebasan hanya dihirupnya selama 10 hari sehingga impiannya melanjutkan perjuangan pupus, ketika pasukan Belanda menyekap kembali Wolter pada tanggal 28 Oktober 1948. Tertangkapnya Wolter akibat dari ruang gerak mereka sudah sangat sempit, juga, akibat bujukan dan rayuan Belanda untuk memberi hadiah bagi siapa saja yang menangkap Wolter diberi uang Rp 400,- Abdullah Hadade Rp 300,- HM Yoseph Rp 200,- dan Lewang Daeng Matari Rp 100,-. Dengan hadiah uang para pejuang kita dikhianati, dimana-mana ada mata-mata Belanda sehingga Wolter pernah mengatakan “ Tidak ada lagi bantal untuk kubaringkan kepalaku disini,�.

Wolter dinasukan ditahanan di Kiskampement Makassar dengan tangan dan kakinya dirantai dan dikaitkan di dinding tembok. Wolter dijatuhi vonis hukuman mati pada tanggal 26 Maret 1949 oleh hakim Meester B Damen.

Dalam perenungannya menjalani hari-hari penuh duka mendekam dipenjara menanti eskekusi hokum mati, Robert Wolter Monginsidi, mencoba menerobos kembali kealam bebas lewat goresan pena yang dirangkai dalam deretan kata bermakna untuk saudara-saudaranya dan anak-anak bangsa sebagai ungkapan tekad dan kesetiaannya terhadap ibu pertiwi Indonesia serta harapan untuk meneruskan perjuangan suci buat bangsanya.

Renungkanlah sekilas cuplikan pesan-pesan dalam kata-kata bijak Robert Wolter Monginsidi berikut ini;

1.Jangan takut melihat masa yang akan datang. Saya telah turut membersihkan jalan bagi kalian meskipun belum semua tenagaku kukeluarkan.
2.Jangan berhenti mengumpulkan pengetahuan agar kepercayaan pada diri sendiri tetap ada dan juga dengan kepercayaan teguh pada Tuhan, janganlah tinggalkan Kasih Tuhan mengatasi segala-galanya.
3.Bahwa sedari kecil harus tahu berterima kasih tahu berdiri sendiri…….belajarlah melipat kepahitan ! Belajar mulai dari 6 tahun…dan jadilah contoh mulai kecil sedia berkorban untuk orang lain.
4. Apa yang saya bisa tinggalkan hanyalah rohku saja yaitu roh “setia hingga terakhir pada tanah air ‘ dan tidak mundur sekalipun menemui rintangan apapun menuju cita-cita kebangsaan yang ketat.
5.Memang betul, bahwa ditembak bagi saya berarti kemenangan batin dan hukuman apapun tidak membelenggu jiwa……
6.Perjuanganku terlalu kurang, tapi sekarang Tuhan memanggilku, rohku saja yang akan tetap menyertai pemuda-pemudi…semua air mata, dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu fondasi yang kokoh untuk tanah air kita yang dicintai Indonesia.
7.Saya telah relakan diriku sebagai korban dengan penuh keikhlasan memenuhi kewajiban buat masyarakat kini dan yang akan dating, saya penuh percaya bahwa berkorban untuk tanah air mendekati pengenalan kepada Tuhan yang Maha ESa.
8.Jika jatuh sembilan kali, bangunlah sepuluh kali, jika tidak bisa bangun berusahalah untuk duduk dan berserah kepada Tuhan.

Ketika tiba pada hari Senin tanggal 05 September 2005 1949 sebagai hari penghukuman pada sekitar jam 05.00 subuh, di Panaikang Tello, putera bangsa terbaik Robert Wolter Monginsidi dengan gagah berani berdiri tegak di hadapan regu penembak.

1.Wolter menulis surat pada secarik kertas sebagai pernyataan keyakinannya kepada Tuhan dan perjuangannya untuk Kemerdekaan Bangsa Indonesia tidak pernah pudar yaitu: Setia Hingga Akhir di Dalam Keyakinan,�
2. Saya minta dimakamkan di Polombangkeng karena disana banyak kawan saya yang gugur.
3.Sampaikan salam saya kepada Papa, saudara-saudara saya di Malalayang serta teman-teman seperjuangan, saya jalani hukuman tembak mati ini dengan tenang, tidak ada rasa takut dan gentar demi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tercinta.

Sesaat sebelum menuju ke tempat penembakan Wolter menjabat tangan semua yang hadir dan kepada regu penembak. Wolter berrkata; “ Laksanakan tugas saudara, saudara-saudara hanya melaksanakan tugas dan perintah atasan, saya maafkan saudara-saudara dan semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa saudara-saudara, “.

Ketegaran dan keteguhan hati menghadapi moncong-moncong senjata yang dibidikan kepadanya dan menolak ketika matanya akan ditutup, ia berucap; “ Dengan hati dan mata terbuka, aku ingin melihat peluru penjajah menembus dadaku, “.

Dengan pekikan ‘ Merdeka….merdeka..merdeka.. !!! dari Wolter, maka 8 butir peluru dimuntahkan ketubuhnya, 4 peluru di dada kiri, 1 di dada kanan, 1 di ketiak kiri menembus ketiak kanan, 1 dipelipis kiri dan 1 di pusar, dan seketika ia terkulai. Wolter gugur dalam usia 24 tahun.

‘SETIA HINGGA TERAKHIR DALAM KEYAKINAN� itulah sebuah tulisan Wolter yang ditemukan pada Alkitab yang dibawahnya ketika dieksekusi dilakukan. Itulah akhir kisah perjuangan Robert Wolter Monginsidi.

Memang masa perjuangannya terlalu singkat,. Tapi masa perjuangannya ditumpahkan dalam pergulatan batin, wawasan dan cakrawala pikirannya yang luas semangat nasionalisme dan jiwa patriotisme serta kecerdasannya tidaklah sependek waktu perjuangan yang dipersembahkannya untuk ibu pertiwi.

Untuk menghormati perjuangannya, maka sederet penghargaan dianugerahkan pemerintah Indonesia kapada sang pahlawan Robert Wolter Monginsidi. Keharuman namanya, seperti Bintang Gerilya (tahun 1958), Bintang Maha Putera Kelas III (tahun 1960), serta ditetapkannya sebagai Pahlawan Nasional (1973).

Indonesia, inilah putramu yang datang dari rahim bumi pusaka Indonesia …..



Malalayang, 5 September 2005

Drs A Noldi . Mandagie

(Pembaca Sejarah Wolter)

__________________
kaya raya bahagia selalu

~KRONOLOGIS~

Apa lagi yang harus ku tuliskan..?
semua sudah menguak tabir-Mu
tak ada lagi yang tersembunyi..

Siang dan malam-Mu berlalu begitu cepat
sehingga aku terkadang lupa
dan langkahku sering terhenti..
meniti dalam angan
hanya bayangan..

Lupa aku akan kejadian sebelumnya
bahwa aku tak punya sehelai kain-pun...
pembungkus tubuh penutup aurat
aku tak bisa bicara..
hingga ibu mengajariku
aku tak bisa berjalan..
senantiasa ayah memapahku

Perlahan bibirku menganga..
setengah mati ingin bicara
bercerita tentang nirwana
meski lidahku kelu
dan kaku..

Setapak demi setapak..
aku merangkak
berputar-putar mengitari waktu
aku tak tahu
sampai batas kapan..?
aku tak tahu..
hingga Engkau memanggilku ...

November '09

Jumat, 28 Mei 2010

Mengenal Inohong / Tokoh Nasional dari Tatar Sunda : SI JALAK HARUPAT


Oto Iskandar di Nata


Oto Iskandar di Nata

Raden Oto Iskandar di Nata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 31 Maret 1897 – meninggal di Mauk, Tangerang, Banten, 20 Desember 1945 pada umur 48 tahun) adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Ia memiliki cucu yaitu sutradara Nia Dinata.Ia mendapat julukan si Jalak Harupat. Selain itu ia juga mantan ketua organisasi Paguyuban Pasundan (1929-1942) dan anggota Volksraad, DPR pada masa Hindia Belanda (1931-1941). Ia menjabat sebagai menteri Negara pada kabinet yang pertama Republik Indonesia tahun 1945, dan dalam kapasitas beliau sebagai menteri negara yang mempersiapkan terbentuknya BKR dari laskar-laskar rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia, ada pihak yang tidak puas sehingga beliau diculik oleh salah satu dari laskar tersebut, yaitu Laskar Hitam, dan akhirnya kemudian dihilangkan di daerah Banten[1].

Untuk mengabadikan perjuangan beliau, dibuatlah sebuah monumen perjuangan Bandung Utara di Lembang, Bandung dengan nama "Monumen Pasir Pahlawan". Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota di Indonesia. ( WIKIPEDIA )

Dalam sebuah sidang Voksraad tahun 1931 dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda.

R. Oto Iskandar Di Nata: “… contohnya, sewaktu Ratu Wilhelmina ulang tahun pada tanggal 31 Agustus yang harus dirayakan di seluruh penjuru negeri. Para pengrehpraja sibuk mengumpulkan biaya perayaan dengan memotong gaji pegawai dan memungut iuran dari rakyat yang miskin. Katanya iuran itu sukarela, padahal merupakan pemaksaan. Mereka menurut karena takut. Maka uang itu tidak halal; pesta perayaannya juga tidak halal. Katanya Ratu itu ibu rakyat, bila dipestakan dengan cara begitu sama saja dengan merendahkan derajatnya. Tanda penghormatan itu hanya kemunafikan.”

Ketua Sidang: “Ucapan-ucapan itu sangat tidak pantas!”

R. Oto Iskandar Di Nata: “Memang tidak baik, tetapi Tuan Ketua, itu karena pesta itu merugikan pendidikan rakyat. Pesta-pesta hanya dipergunakan untuk meraih kedudukan. Saya yakin kalau Ratu mengetahui hal ini, beliau tidak akan mau dihormati dengan cara begitu. Bahkan mungkin marah!”

Tuan Frain: “Saudara buruk sangka, kepada rakyat Saudara sendiri!”

R. Oto Iskandar Di Nata: “Salah susunan!”

Tuan Monod de Froideville: “Biasa, menyalahkan orang lain!”

R. Oto Iskandar Di Nata: “Tentu, Lihat saja, berapa banyak rakyat Indonesia tidak mendapatkan pengajaran di sekolah!”

Tuan Hamer: “Bayar sekolah sendiri!”

R. Oto Iskandar Di Nata: “Itu urusan negara!”

Tuan Hamer: “Itu perkiraan Saudara saja!”

R. Oto Iskandar Di Nata: “Pendidikan yang ada sekarang hanya sebagai klerek pabrik dan jurutulis. Para pangrehpraja berperilaku sebagai penjilat, karena salah mendidik!”

Itulah sekelumit keberanian Raden Oto Iskandar Di Nata yang terlahir di Bojongsoang, Bandung, 31 Maret 1897, kritikannya yang pedas dan suaranya yang keras membuat ia dijuluki Si Jalak Harupat, ayam jago yang keras dan tajam menghantam lawan, kencang berkokok dan selalu menang jika diadu. Julukan ini dilontarkan oleh Wirasendjaja, guru HIS Cianjur, kakak Soetisna Sendjaja, pemimpin redaksi pertama surat kabar Sipatahoenan.

Almarhum Raden Oto Iskandar Di Nata meninggal dan tidak pernah ditemukan jasadnya, ia diculik pada tanggal 31 Oktober 1945 dan menulis surat terakhir di tanggal yang sama untuk istri dan sebelas orang anak-anaknya. Menjelang akhir Desember 1945 terdengar berita bahwa Oto diculik oleh Laskar Hitam di Pantai Mauk, Tangerang.

Bermula dari aktifnya sebagai guru HIS dan aktif di partai Boedi Oetomo Pekalongan, Oto membongkar kasus Bendungan Kemuning yang menyelamatkan rakyat dari penipuan pengusaha Belanda, hingga akhirnya ia dipindahkan ke Batavia. Di Jakarta ia kemudian aktif dan menjadi pimpinan Pagoejoeban Pasoendan pada tahun 1929, sebuah organisasi dan partai yang tidak hanya untuk orang Sunda, ketua pertamanya sewaktu didirikan tahun 1913 adalah orang Bugis, Daeng Kandoeroean Ardiwinata. Semenjak dipimpin oleh Oto Pagoejoeban Pasoendan mengalami perkembangan pesat dalam bidang politik, pendidikan, budaya, ekonomi serta pemberdayaan istri. Tahun 1931 Oto duduk di dewan rakyat Volksraad sebagai utusan dari Pagoejoeban Pasoendan.

Tahun 1942 Oto aktif memimpin surat kabar Sipatahoenan yang menjadi corong Pagoejoeban Pasoendan, kemudian memimpin surat kabar Tjahaja selama pendudukan Jepang. Oto mengambil sikap kooperatif selama masa pendudukan hingga kemerdekaan, yang juga membuat beberapa sahabatnya heran dengan sikap Oto yang biasanya frontal sesuai dengan julukan Si Jalak Harupat.

Ada pendapat bahwa Oto dianggap kolaborator Jepang hingga ia diculik oleh Laskar Hitam, saat itu Oto yang menjabat Menteri Negara mengambil sikap kooperatif dalam revolusi yang terjadi setelah proklamasi, terutama pada saat Sekutu masuk Bandung pada bulan September 1945. Melalui diplomasi Sekutu gagal menguasai Bandung, hingga bulan Maret Sekutu membuat ultimatum kepada Republik, namun dijawab dengan pengungsian dan pembakaran kota Bandung oleh tentara dan rakyat, yang dikenal sebagai Bandung Lautan Api.

Selain Oto korban penculikan saat itu –entah oleh siapa– adalah Residen Priangan Poerdiredja, Walikota Bandung Oekar Bratakoesoemah dan Niti Soemantre Ketua KNI Karesidenan Priangan.

Kisah lebih lengkap bisa anda baca dalam biografi yang ditulis oleh sejarawan Bandung, Nina H. Lubis: Si Jalak Harupat.

Kamis, 27 Mei 2010

TITIAN MALAM TIADA BERTEPI

Hendak ke mana kubawa rasa ini..?
ketika hati gundah gulana
tiada bertepi...
jalan panjang membentang di depan mata
penuh liku dan duri menanti..

Hendak ke mana kubawa hampa ini..?
ketika tubuh lunglai tak berdaya
rasa yang tersisa hanyalah duka...
sementara bulan di atas sana
tak pernah lelah memberi arti.

Dalam aku terpekur sujud pada-Mu
kutemukan hasrat berjuta asa
bintang-Mu temaram di dalam dada
matahari-Mu adalah jantungku
bersemayam di dalam jiwa dan ragaku..

Oooh..! Penguasa Alam Jagat Rayaaa....!
berikan aku matahari-Mu
berikan aku bintang-Mu
akan ku jelajahi dunia...!
wahai Temaraaaaam.....!
akan kuarungi samudra nan ganas ..bergelora...
akan kutaklukan karang nan garaaang..gh.....!
Yaaa ...Ilahiii....!
Yaaa....Ilahiii....!
sujud ....aku.. pada-Mu

November '09

Senin, 24 Mei 2010

Mengenal Inohong / Tokoh Nasional dari Tatar Sunda: Ir. H. DJUANDA KARTAWIDJAYA


Djoeanda Kartawidjaja
Djoeanda  Kartawidjaja
Perdana Mentri Indonesia ke-10

Ir. R. Djoeanda Kartawidjaja (ejaan baru: Juanda Kartawijaya) (lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911 – meninggal di Jakarta, 7 November 1963 pada umur 52 tahun) adalah Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir. Ia menjabat dari 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959. Setelah itu ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I.

Sumbangannya yang terbesar dalam masa jabatannya adalah Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang menyatakan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dikenal dengan sebutan sebagai negara kepulauan dalam konvensi hukum laut w:United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) [1].

Selain itu namanya juga diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur yaitu Bandara Djuanda karena jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang tersebut sehingga dapat terlaksana.

Beliau dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. (WIKIPEDIA)

SOSOK Ir. H. DJUANDA KARTAWIJAYA:
PERDANA MENTERI DAN PEJUANG LAUT YANG TANGGUH
(Peringatan Deklarasi Djuanda, 13 Desember 2007)

Nggak banyak generasi masa kini yang mengenal sosok Ir. H. Djuanda
Kartawidjaja, meski namanya sudah sangat banyak diabadikan ke dalam nama jalan,
nama bendungan, nama stasiun kereta api (di Jakarta) dan bahkan nama bandar
udara di kota Surabaya. Banyak tokoh-tokoh yang hidup semasanya juga berpikir
yang sama bahwa dalam dua puluh tahun terakhir ini namanya tidak menjadi buah
bibir generasi muda, padahal Ir. H. Djuanda Kartawidjaja telah ditetapkan
sebagai Pahlawan Nasiona RI. Walah, jangan-jangan banyak para elit Republik ini
mengalami sindrom yang sama, yaitu sama sekali tidak mengenalnya. Ironis...

Tentunya hal ini menjadi kepedulian kita bersama. Perlu diketahui, bahwa sejak
masa awal kemerdekaan (1946) sampai meninggalnya 6 Nopember 1963 dalam usia 52
tahun, Ir. H. Djuanda K. selalu mendapat kepercayaan menjadi menteri dalam
berbagai kabinet, bahkan ketika meninggal masih menjabat sebagai Menteri
Pertama antara tahun 1959-1963, dan sebelumnya adalah Perdana Menteri dan
Menteri Pertahanan selama tahun 1957-1959.

Ir. H. Djuanda dilahirkan di Tasikmalaya, 14 januari 1911, merupakan anak
pertama pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat, ayahnya seorang Mantri Guru
pada Hollandsch Inlansdsch School (HIS). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan
di HIS dan kemudian pindah ke sekolah untuk anak orang Eropa Europesche Lagere
School (ELS), tamat tahun 1924. Selanjutnya oleh ayahnya dimasukkan ke sekolah
menengah khusus orang Eropa yaitu Hogere Burger School (HBS) di Bandung, dan
lulus tahun 1929. Pada tahun yang sama dia masuk ke sekolah Tinggi Teknik
(Technische Hooge School) di Bandung, mengambil jurusan teknik sipil dan lulus
tahun 1933. Semasa mudanya Djuanda hanya aktif dalam organisasi non politik
yaitu Paguyuban Pasundan dan anggota Muhamadiyah, dan pernah menjadi pimpinan
sekolah Muhamadiyah. Karir selanjutnya dijalaninya sebagai pegawai Departemen
Pekerjaan Umum propinsi Jawa Barat, Hindia Belanda sejak tahun 1939.

Ir. Djuanda oleh kalangan pers dijuluki ‘menteri marathon’ karena sejak awal
kemerdekaan (1946) sudah menjabat sebagai menteri muda perhubungan sampai
menjadi Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (1957-1959) sampai menjadi
Menteri Pertama pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1963). Sehingga dari tahun
1946 sampai meninggalnya tahun 1963, beliau menjabat sekali sebagai menteri
muda, 14 kali sebagai menteri, dan sekali menjabat Perdana Menteri.

Pada saat diangkat oleh presiden Soekarno sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet
Karya, Ir. Djuanda bukanlah orang partai, sehingga ‘Kabinet Karya’ ini
beranggotakan para menteri yang dipilih berdasarkan keahliannya bukan
berdasarkan asal partainya. Pada saat menjabat sebagai perdana menteri inilah,
Ir. Djuanda harus menghadapi dan menyelesaikan berbagai persoalan bangsa yang
berat dan rumit. Beberpa diantarannya adalah masalah ketegangan hubungan antara
presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta yang mengundurkan diri tahun
1956. Selain itu pergolakan di daerah semakin memanas dengan ketidakpuasan elit
politik dan militer di daerah seperti di Sumatera barat, Sumatera Utara,
Sulawesi Utara. Selain itu pemerintahan Djuanda juga harus mengatasi
pemberontakan Darul Islam (DI/TII) di Jawa barat, Aceh dan Sulawesi Selatan dan
Tenggara, Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon dan Seram, dan juga masalah
provinsi Irian Barat yang masih diduduki oleh Belanda.

Sebagai perdana menteri, Djuanda memprakarsai kegiatan yang berusaha untuk
menormalisasi keadaan dan menegakkan keutuhan Negara Republik Indonesia. Untuk
itulah diadakan Musyawarah Nasional yang mengundang para penguasa sipil dan
militer di daerah, tokoh-tokoh Indonesia yang dianggap mampu memberikan
masukan-masukan yang positif sesuai dengan tujuan Munas. Acara diadakan di
Gedung Proklamasi Jl. Pegangsaan Timur no. 56. Presiden Soekarno dan mantan
Wakil Presiden Moh. Hatta juga bersedia hadir dalam acara tersebut. Kehadiran
tokoh ‘dwi tunggal’ diharapkan dapat mempengaruhi para elit lokal untuk mau
duduk dan bermusyawarah memecahkan berbagai masalah kebangsaan yang tengah
mengancam keutuhan Negara RI. Acara Munas dimulai tanggal 10 September 1957 dan
berlangsung sampai 14 September 1957.

Dalam pembukaan Munas, Ir. Djuanda menekankan pentingnya segala komponen bangsa
untuk memikirkan pemecahan masalah yang membuat Negara RI berjalan tidak
normal. Dengan membawa kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan
golongan atau partai. Sementara itu Bung karno dan Bung Hatta mengingatkan
kembali agar segenap komponen bangsa mengambil teladan dari proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai jiwa yang membawa persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia, mengingat munas ini juga diselenggarakan di gedung Proklamasi
Jl. Pegangsaan No 56.

unas ini secara umum cukup berhasil meredam ketegangan antara pusat dan daerah
untuk sementara waktu. Memburuknya hubungan RI dan Belanda menimbulkan gejolak
di Indonesia, sehingga terjadi kekacauan dalam pengambilalihan asset-asset
milik Belanda dan ditambah lagi terjadinya ‘Peristiwa Cikini’ pada tanggal 30
Nopember 1957 yaitu peledakan granat di sekolah Cikini ketika Soekarno
berkunjung ke sekolah anaknya tersebut, Soekarno selamat tetapi banyak yang
tewas akibat ledakan granat tersebut. Peristiwa ini berkembang dan meningkatkan
suhu politik di dalam negeri, termasuk penangkapan-penangkapan yang dilakukan
oleh aparat keamanan. Keadaan menjadi tidak stabil ketika komandan-komandan
militer dibeberapa daerah meminta agar Kabinet Djuanda dibubarkan atau
mengundurkan diri. Sehingga memasuki 1958 situasi pergolakan mulai memuncak dan
meletus di Sumatera Barat (PRRI) dan Sulawesi Utara (Permesta).

Namun dari semua kesulitan yang dihadapi oleh Kabinet Djuanda dan juga bangsa
Indonesia umumnya. Perdana menteri Djuanda ternyata mampu melakukan terobosan
besar dalam upanya mengintegrasikan seluruh wilayah kepulauan dan laut yang
menjadi wilayah territorial Indonesia dengan mencanangkan Deklarasi Djuanda
pada tanggal 13 Desember 1957, yang berbunyi:

”segala perairan disekililing dan diantara pulau-pulau di Indonesia merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada di bawah kedaulatan
Indonesia”.

Pernyataan ini dibacakan dalam siding Kabinet oleh Perdana menteri Djuanda
sebagai landasan hukum bagi penyusunan Rancangan Undang Undang yang nantinya
dipergunakan untuk menggantikan Territoriale Zee and Maritime Kringen
Ordonantie tahun 1939, terutama pasal 1 ayat 1 yang menyatakan wilayah
territorial Indonesia hanya 3 mill diukur dari garis air rendah setiap palung.
Hal ini mengakibatkan wilayah perairan antara pulau-pulau di Indonesia menjadi
kantung-kantung internasional yang dapat dimanfaatkan oleh pihak luar, dan
waktu itu banyak kapal-kapal perang Belanda yang melintasi laut-laut dalam kita
menuju Irian Barat dengan memanfaatkan hukum territorial laut tahun 1939.

Penyusunan Deklarasi Djuanda yang sangat penting ini tidak terlepas dari peran.
Mochtar Kusumaatmadja yang pada saat itu adalah anggota panitia rancangan
Undang-undang (RUU) Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim. “Ketika RUU sedang
dalam proses penyelesaian dengan menetapkan wilayah laut territorial Indonesia
adalah 12 mil dari garis air rendah. Bulan oktober 1957, menteri Chaerul Saleh
mendatangi saya dan mengatakan bahwa RUU tersebut tidak banyak berguna untuk
menutup Laut Jawa dari pelayaran kapal-kapal asing terutama kapal perang
Belanda. Mochtar kemudian menyusun draft deklarasi atas seizin Letkol Laut
Pirngadi, ketua Panitia RUU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim dan juga
Kepala Staff Operasi Angkatan Laut.” kata Mochtar.

Pada tanggal 13 Desember 1957, panitia RUU Laut Teritorial dan Lingkungan
Maritim dipanggil PM. Djuanda di Pejambon, Jakarta. Letkol Pirngadi dan Mochtar
kusumatmadja kemudian dipersilahkan menjelaskan peta Indonesia yang sudah
menggunakan konsep laut “antara” sebagai wilayah territorial Indonesia bukan
hanya 3 mil atau 12 mil dari garis air rendah. Hasil rapat kabinet kemudian
memutuskan konsep yang menyatakan bahwa; ”segala perairan disekililing dan
diantara pulau-pulau di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
daratan dan berada dibawah kedaulatan Indonesia” diterima sebagai keputusan
rapat. Kemudian keputusan ini diumumkan oleh PM Djuanda, yang kemudian dikenal
dengan Deklarasi Djuanda, yang memiliki arti yang strategis bagi perjuangan
bangsa Indonesia untuk meningkatkan pembangunan dan memantapkan kesatuan
nasionalnya. Dengan demikian wilayah laut kita dihitung 12 mil dari garis-garis
dasar yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia yang
terluar, dengan demikian luas territorial Indonesia berkembang dari dua juta
km2 menjadi lima juta km2.

Meskipun Deklarasi Djuanda belum diakui secara internasional, namun oleh
pemerintah RI, deklarasi ini diundangkan melalui keputusan Undang-Undang/Prp
No. 4/1960, bulan Februari 1960. UU ini kemudian diperkuat dengan Keputusan
presiden no. 103/1963 yang menetapkan seluruh perairan Nusantara Indonesia
sebagai satu lingkungan laut yang berada di bawah pengamanan Angkatan laut RI.
Berbagai peraturan ini juga menimbulkan kecaman dari dunia Internasional, namun
Indonesia tetap bersikukuh bahwa deklarasi Djuanda merupkan solusi yang terbaik
untuk menjaga keutuhan laut Indonesia dan dipergunakan untuk kemamkmuran rakyat
Indonesia.

Dalam konferensi Hukum laut PBB ke-3, Indonesia memprjuangkan konsep kesatuan
kewilayahan Nasional yang meliputi wilayah darat, laut dan udara dan seluruh
kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Konsep ini kemudian diakui dalam
konvensi Hukum laut PBB di Montego Bay (Jamaika) pada tanggal 10 Desember
1982. Indonesia kemudian meratifikasinya dalam UU No. 17/1985 pada tanggal 31
Desember 1985. akhirnya setelah 25 tahun menunggu Deklarasi Djuanda telah
diakui oleh PBB, namun baru diakui secara internasional sejak 16 Nopember 1994,
setelah 60 negara meratifikasinya. Hal ini berarti butuh waktu 37 tahun sejak
Deklarasi Djuanda Kesatuan Kewilayahan Indonesia diakui oleh dunia
Internasional. Saat ini dengan diberlakukannya Zona Ekonomi Eksklusif sejauh
200 mil dari garis dasar perairan maka wilayah yang dapat dikelola ekonominya
termasuk wilayah laut seluas delapan juta km2, enam juta km2 diantaranya adalah
wilayah perairan laut. Sosok diplomat dan ahli hukum laut Indonesia yang
sangat aktif memperjuangan cita-cita deklarasi Djuanda adalah selain prof. Dr,
Mochtar Kusumaatmadja adalah prof. Dr. Hashim Djalal yang dengan aktif
mengikuti berbagai sidang PBB tentang hukum laut, sejak tahun 1970-an sampai
1990-an. Hashim Djalal menyelesaikan gelar Doktor tentang hukum laut pada
Universitas Virginia tahun 1961, karena diilhami oleh Deklarasi Djuanda. Bahkan
dia juga menggagas Rancangan peraturan pemerintah temntang lalu Lintas Laut
Damai Kendaraan Air Asing melalui Perairan Nusantara Indonesia, pada bulan Juli
1962, yang kemudian disetujui oleh kabinet dan dijadikan Peraturan pemerintah
No. 8/1962.

Demikianlah Deklarasi Djuanda yang kita peringati setiap tanggal 13 Desember
ini merupakan momentum yang dapat dijadikan refleksi sudah sejauh mana wilayah
territorial darat dan laut yang sudah diperjuangkan oleh para pendahulu kita
termasuk Prof. Dr. Mochtar kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hashim Djalal dapat kita
ambil semangatnya bagi pembangunan Indonesia yang lebih baik. Kehilangan
Sipadan dan Ligitan, hilangnya pulau-pulau di selat Malaka akibat pengerukan
pasir yang dijual ke Singapura dan masalah-masalah pulau terdepan kita yang
rentan dijarah oleh pihak luar. Sudah selayaknya dalam peringatan Deklarasi
Djuanda para elit sipil dan militer negeri ini selalu mengedepankan kinerjanya
agar jangan sampai wilayah territorial kita berkurang karena ketidakpedulian
kita terhadap territorial laut dan pulau-pulau di perbatasan dengan Negara
lain. Peringtan Deklarasi Djuanda dapat dimaknai sebagai tanggung jawab setiap
generasi untuk menjiwai semangat deklrasi tersebut. Maka, fahami dan dalamilah
segenap ruh dan jiwa dari deklarasi itu, agar kita tidak kehilangan apa yang
seharusnya menjadi hak kita dan generasi setelah kita.

Naskah: Tim Panitia Seminar dan Pameran 50 Tahun Deklarasi Djuanda. Direktorat
Georgrafi Sejarah Departemen Kebudayaan & Pariwisata RI.

Disarikan oleh: Didik Prdjoko, M.Hum (UI) dan Asep Kambali, S.Pd. (UNJ/ Eks
IKIP Jkt)

Sumber:
I.O. Nanulaita, Ir. Haji Juanda Kartawijaya, Depdikbud, IDSN, 1980/1981

Awaloedin Djamin, ed., Pahlawan Nasional Ir. H. Djuanda: Negarawan,
Administrator dan Teknokrat Utama, Jakarta, Kompas, 2001


KPSBI-HISTORIA

Phone: (021) 7044-7220, Mobile: 0818-0807-3636
[EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]
http://kpsbi-historia.blogdrive.com

Mengenal Inohong / Tokoh Nasional dari Tatar Sunda: R.H. MOHAMAD SANUSI HARDJADINATA

Wanoh ka Inohong / Tokoh Nasional ti Tatar Sunda:
BIOGRAFI
R.H. MOH. SANUSI HARDJADINATA
Ku : M. Ridwan Iskandar
Foto R.H.M. SANUSI SARDJADINATA


Harepan R. Wirantadidjaja sangkan putrana tiasa janten menak karasa pamohalan pikeun ngawujud. Sabab jadi menak teh kudu tamatan Sakola Menak (Hoofdenschool), sedeng Sanusi teu mungkin tiasa lebet ka eta sakola. Kaayaan jaman harita teu ngamungkinkeun pikeun ngabiayaan pendidikan anu sakitu mahalna. Tapi sanajan kitu, sumanget Sanusi kanggo neraskeun sakolana henteu pareum kitu wae. Sabada namatkeun HIS di Garut, anjeuna ahirna lebet ka sakola pendidikan guru HIK (Hollandsch Inlandsche Kweekschool) anu kocap kalawan sebutan Sakola Raja di Bandung. Sanusi lebet ka Onderbouw HIK taun 1933 (diploma Mulo B) dugi ka lulus sareng Bovenbouw HIK taun 1936 (Onderwijzers Akte).
Aya tilu sobat dalit Sanusi nalika sakola di HIK anu salawasna ngancik dina ati sanubarina, nyaeta: Sukanda Bratamanggala, Subiadinata, sareng A’on. Tilu sobat opatan sareng Sanusi sok dilalandih kwartet. Sabada ancrub di masarakat eta opat sosobatan teh naratas karir anu beda-beda. Sukanda dibawa nasib pikeun aktif dina widang militer, sedengkeun Subiadinata sareng A’on malang mulintang di dunia pendidikan, ari Sanusi ditakdirkeun pikeun milih ancrub di widang pamarentahan.
Taun 1936 Garut katarajang wabah pes, Taun eta pisan taun musibah kanggo Sanusi, anjeunna ditilar ku ibu ramana mulih ka rohmatulloh. Ampir sadaya kulawargina ngantunkeun pikeun salalamina ku alatan eta wabah. Di antara kulawargina mung anjeunna wungkul nu nyesa. Ti harita Sanusi nunggul pinang. Teu aya baris pigeusaneun. Kamana deui kedah ngadu nasib.
Taun 1936 anjeunna ancrub kana dunia pendidikan, karir awalna janten guru di HIS partikelir. Anjeunna ngajar di HIS Kramat, Betawi, kota anu kiwari disebut Jakarta.Ti kota kolonial ieu anjeunna ngalih deui ka kota leutik teras ngajar di HIS Muara Dua, Lampung, Sumatera Selatan. Teu kungsi lami ngalih deui nyaketan lemburna. Anjeunna ngalih ka Bandung ngajar di HIS Pasundan. Dina taun 1939 anjeunna ngajar di Inheemsche MULO Pasundan. “Kuring emut keneh, samemeh jadi guru diuji heula. Harita kawilang istimewa pikeun guru nonoman bisa ngajar disakola ‘menengah’. Eta sakola teh pernahna di Jalan Kopo.” Kitu kasauran Sanusi waktu diwawancara ku wartawan Mangle dina taun 1985.
Salaku nonoman anu icikibung dina dunia pendidikan tur aktif di ‘Sarekat Kerja’ Onderwijers Vak Organisatie (O.V.O) cabang Bandung hiji organisasi guru para alumni HIK, Sanusi ngaraos kagugah pikeun ngagabung tur aktif di Paguyuban Pasundan. Samalah anjeunna sasarengan sareng Sukanda Brata Manggala ngadegkeun Pandu Organisasi Pasundan disingget POP. Harita Paguyuban Pasundan nuju dipingpin ku R. Oto Iskandar di Nata. Paguyuban Pasundan mere rupa-rupa ‘kontribusi’ pikeun ngamajukeun masarakat pribumi dina jaman kolonial Belanda. Paguyuban Pasundan oge bagerak pikeun ngamajukeun bidang sosial, ekonomi, budaya, jste. di Tatar Pasundan. Salasahiji tokoh Pasundan anu dianggap guru ku anjeunna nya eta Bapa Ema Bratakusumah.
Taun 1942 Jepang datang ngajajah lemah cai. Dina waktu anu singget Panglima Perang Hindia Belanda nandatangan surat serah bongkokan tanpa sarat ka Panglima Militer Jepang di Kalijati. Ti harita pamarentah militer Jepang, penjajah kulit koneng jadi nu kawasa di Hindia Belanda, ngaganti penjajah bule. Harepan pikeun mangsa nu bakal datang anu leuwih hade teh sirna sapada harita.
Dina awal kakawasaanana Jepang nutup sakabeh sakola nu aya di Indonesia. Nya ti harita Sanusi janten ngaligeuh. Sagala rupa karasa leuwih werit, sok komo harita teh anjeunna tos kagungan rarabi tina pernikahan sareng R.Iin Sopiah anu ditikah taun 1938. Untungna sataun ti dinya sakola-sakola teh dibaruka deui. Sanusi gasik ngalamar janten guru. Tapi dalah dikumaha, nasib teu acan mihak ka anjeunna; lamaran ditolak, alesanana basajan pisan, guru sakola menengah nu ditarima teh kudu ngabogaan pangalaman salila sabelas taun.
Sanusi ngaraos helok ku ayana katangtuan pangalaman ngajar sabelas taun ieu. Sabab nurutkeun pangemut anjeunna elmu ngajar tos kacangking. Anjeunna tos cukup lami ngajar, ngan tacan sabelas
taun. Najan kitu, anjeunna ngaraos tos kagungan kamaheran ngajar anu nyekapan. Ahirna Sanusi mutuskeun pikeun liren janten guru. Anu engkena ieu pamadegan teh matak pikareueuseun lantaran anjeunna henteu kantos ngadamel di pamarentahan penjajah.
Jaman penjajahan jepang teh jaman anu sarwa sulit Sanajan kagungan ijazah guru teu babari nyiar kasab. Dina kaayaan kitu, kasab naon wae oge dilakonan asal halal. Anjeunna kapaksa janten tukang catut karcis bioskop. Barang tos genep bulan janten tukang catut, teu kantos lami jol atasanana di sakola guru sumping ka bumina, ngajakan deui ngajar di sakola guru anu bade diadegkeun. Sanusi nolak kana eta ajakan lantaran alim ngaletak ciduhna nyalira.
Sataun ti harita , atasan Sanusi ka bumina deui. Lain nawaran janten guru tapi janten kepala sakola. Sanusi tetep nolak lantaran kukuh kana naon anu tos diucapkeunana. Dina mangsa penjajahan Jepang, sakabeh organisasi “pergerakan” dibubarkeun kaasup Paguyuban Pasundan. R. Oto Iskandar Di nata kudu nyalametkeun dana organisasi anu dibubarkeun. Ku kituna anjeunna nawisan Sanusi pikeun ngajalankeun dana organisasi dina wangun usaha. Sanusi dipaparin modal ku Pa Oto anu seueurna saratus ringgit. Anjeunna muka warung dina tilas kantor Paguyuban Pasundan di Jalan Dalem Kaum Bandung. Eta warung teh dinamian ”Badan Oesaha Perekonomian” (BOP). Ieu usaha dagang teh lami-lami mah mekar. Anjeunna dipercanten pikeun ngimpor barang. Kamaheran di widang perekonomian nyababkeun anjeunna diangkat janten anggota “Pengurus Persatuan Pedagang” Indonesia di Bandung,

sareng “Pengurus Koperasi Distribusi Priangan” (Sangio Kumiai Renggokai Priangan-Shu). Lantaran tugasna beuki beurat, kapangurusan di BOP dipasrahkeun ka nu sanes.
Kasuksesan Sanusi dina ngokolakeun dana Paguyuban Pasundan teu leupas tina sikep anjeunna dina soal ngokolakeun dana. Anjeunna salawasna nandeskeun pola hirup rikrik gemi, ngeureut neundeun (pinter nabung), henteu awuntah (boros atawa royal).
Tanggal 14 Agustus 1945 Jepang serah bongkokan ka sekutu, perang Asia Timur Raya reureuh. Sukarno sareng Hatta nembe mulih ti Vietnam nepungan panglima Jepang, Ngan ukur dina itungan poe ti harita, detik-detik proklamasi 17-Agustus-1945 geus muka lambaran hirup anyar pikeun bangsa Indonesia.
Isukna PPKI, anu diwakilan ku wawakil ti Pulo Jawa, Sumatera, Sulawesi, jeung Kalimantan (baheula eta runtuyan pulo teh disebutna Sunda kecil) nyieun rarancang UUD anu geus disiapkeun ku BPUPKI sarta disahkeun anu kiwari disebut UUD 1945. Salian ti eta PPKI netepkeun ngadegna Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pikeun nampung pangdeudeul ti masarakat kana ngadegna nagara Republik Indonesia.
Luyu jeung kawijakan di pusat, di tingkat karesidenan diwangun Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Dina gempungan anu dipingpin ku R. Puradireja kapilih 23 urang anggota. Sanusi Hardjadinata kapilih salaku wawakil ti kalangan padagang. Lajeng anjeunna oge diangkat salaku anggota Dewan Pemerintahan Harian Karesidenan Priangan. Nalika kalungguhan Residen Priangan dicepeng ku R. Indung Ardiwinangun, luyu jeung putusan gempungan KNID 1 September 1945, Sanusi Hardjadinata anu lahir di Desa Cinta -Sukawening Garut tanggal 24 Juni 1914 ieu kapilih janten Wakil Residen sareng resmi janten Pegawai Tinggi Residen Priangan. Taun 1947 janten Pegawai Tinggi Departemen Dalam Negeri RI, sarta janten Pegawai Tinggi anu diperbantukeun di Residen Madiun. Ti taun 1945 dugi ka taun 1950 anjeunna ngiring gerilya sareng TNI di Priangan sareng di Madiun JawaTimur. Taun 1951 sabada janten Komisaris Republik Indonesia Serikat pikeun Jawa Barat sarta Residen Priangan, anjeunna diangkat janten Gupernur Jawa Barat dugi ka taun 1957. Teu kakantun dina taun 1955 anjeunna oge mupuhuan panitia lokal Konperensi Asia Afrika di Bandung.
Masih keneh seueur kalungguhan sanesna anu dipercantenkeun ti nagara ka anjeunna, di antarana:

Taun 1951- GupernurJawa Barat
• Taun 1957-1959 Mentri dalam negeri
• Taun 1960-1964 Duta Besar Indonesia pikeun Republik Persatuan Arab (Mesir)
• Taun 1964-1966 Rektor Universitas Negeri Padjadjaran Bandung
• Taun 1966 Mentrei Utama RI Bidang Industri dan Pembangunan
• Taun 1967 Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K)
• Taun 1968-1970 Diperbantukeun di Departemen Dalam Negeri
• Taun 1975-1978 Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
• Jrrd …

Sanajan anjeunna nyepeng rupa-rupa kalungguhan di pamarentahan, tapi anjeunna mah salawasna basajan, nepi ka kungsi hiji inohong pamarentahan, Ali Sadikin manten Gupernur DKI Jakarta nyarita: “Sim kuring kalintang ngajenan pisan kana kasederhanaan Bapa Sanusi Hardjadinata.”
RH. Moh. Sanusi Hardjadinata mulih ka rohmatulloh di Bandung 19 Rajab 1416 H/ 12 Desember 1995
Muga –muga naon anu ditaratas ku anjeunna sing jadi hikmah keur balarea, hususna urang Sunda umumna bangsa Indonesia. Amin Ya Robbal Alamin.

(Dicutat tina: Negarawan dari Desa Cinta. DR Nina H. Lubis)

BAYI KEMBAR SIAM EMPAT

Ada bayi kembar siam empat di dalam rahim ibunya sedang berdiskusi,

Bayi kembar siam (BKS)1: " Kalo aku nanti lahir ke dunia mau jadi PLN aja..biar gak gelap gini.."

BKS 2 : " Kalo aku mau jadi arsitek aja... biar gak pengap dan sesak gini aku mau bikin bangunan yg ruangannya luas dan indah. "

BKS 3 : " Waaah... kalo aku mah mau jadi konveksi biar gak kedinginan gini kita kan sekarang gak punya kain sehelaipun buat menutup tubuh kita..."

BKS 1,2,3 ===>>> BKS 4 : " Kalo kamu mau jadi apa..?"

BKS 4 : " Aku mau jadi KABARESKRIM aja..aku mau selidiki siapa anak kecil yang suka tengak-tengok ke sini sambil meludaah.... "

BKS 1,2,3 : " Ooowh.... yaa......??? "